BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 22 Desember 2008

mY pRiNcE ChaRmiNg

Ufh! Bulan puasa kali ini panas banget! Kenapa ga ada hujan ya? Ini kan udah masuk bulan penghujan. Aku melirik ke kanan dan ke kiri. Ga ada satu pun bayangan yang bisa dipakai berteduh. Gila! Kenapa sih, pohon di sepanjang jalan ini harus ditebang?! Panasnya bisa buat telur mata sapi neeh! Enak banget dimakan bareng es teh buatan Mbak Arum, pembantu rumahku. Sayangnya, hari ini masih bulan puasa. Duhh.. Mana bakal ada tamu lagi. Sumpek. Sumpek. Sumpek!!
Lho.. lho.. lagi puasa kok isinya keluhan semua? Sabar.. sabar.. bentar lagi, aku sampe rumah. Kaki yang serasa mau copot sendiri ini bisa aku kompres pake air dingin. Trus, karena ga bisa minum, aku bisa mengademkan diri di depan kipas angin. Kalo perlu, mandi dulu deh! Biar seger. Umm, soal tamu, aku bisa menghindar karena ada pertemuan karang taruna. Wah! Aku bisa melarikan diri dong! Asik! Ngademnya di tempat Pipi aja deh. Hehehe...
Aku memasuki halaman rumah yang teduh dari pintu samping. Tengok kanan, tengok kiri, leat depan. Aman.. aman.. Aku merasakan semilir angin yang bertiup ke arahku. Aduh, sejuknya rumahku ini. Eits! Tapi aku tetep harus hati-hati. Humm! Jangan sampe ketauan eyang. Kalo ketauan, rencana melarikan diriku batal dong! Ga mau! Ga mau! Pokoknya aku mau melarikan diri aja! Males banget menjalani ritual itu. Itu lho, berbasa-basi ama tamu. Basi ah! Mending ikut kumpulan kalee
Yosh! Berhasil melewati pintu samping dengan selamat. Begitu juga dengan dapur dan ruang makan. Sepertinya eyang emang lagi di depan deh. Hehehe... lancar. Lancar. Tinggal lari ke kamar nih. Abis itu, ganti baju, terus melarikan diri ke rumah Pipi deh! Asik! A..
“Lho? Aya baru pulang ya?” Ow.. ow.. gagal deh. Aku berbalik menghadapi pemilik suara tenang itu. Aku tersenyum dengan tampang innocent. “Tumben lewat samping. Ayo salim dulu sama eyang sama budhe.” Eyang memerintahkan dengan suara tenang. Bukan nada perintah. Ajakan. Tapi tetep aja.
Ugh.. “Sekarang?” tanyaku malas. Please, let me go.
“Iya dong. Ayo.” Eyang menarik tanganku ke arah ruang tamu. Aku terpaksa mengikutinya. Ga mungkin dong, aku membiarkan tanganku sendirian ke sana tanpa aku?
Aku mencium tangan Eyang Bagyo, kakak eyang yang ketiga. Ga lupa mencium tangan Pakdhe Pras, pria besar yang kulitnya putih banget. Haduh, jadi minder liat kulit kecoklatanku. Dilanjutkan dengan Budhe Dita, istri Pakdhe Pras. Wah, cantik banget deh, Budhe Dita itu. Tinggi, langsing, cantik, dan ga kalah putih sama suaminya. Seandainya aku yang seperti itu. Wah, pasti pada ga percaya tuh. Aku tersenyum geli memikirkannya.
“Kok senyum.” Tegur seorang wanita bertubuh besar. Kalo dilihat-lihat wanita itu terlihat mirip dengan Pakdhe Pras. Yah, gimana ga mirip. Namanya juga kakak adik. Wanita itu bernama Budhe Saras. Ah! Jadi inget film jagoan yang judulnya sama dengan namanya. Aku menunduk lagi. Tersenyum.
“Tuh, kan. Senyum lagi.” Kata Budhe Dita ramah.
Aku mengangkat wajahku yang masih terhias senyum. “Kan senyum adalah ibadah, Budhe.” Jawabku ngasal. Kaya’nya bukan gitu deh, bunyinya. Jadi aku Cuma nyengir sok innocent lagi.
Aku menyalami lagi seorang cowok. Wah, aku kira dia bule nyasar! Hampir aja aku mau bilang, ‘Sorry, bro. I think You are in a wrong place. Here is Klaten, it’s not Sydney.’ Tapi, tentu saja, aku mengurungkan niat itu. Sepertinya, aku mendengar eyang berkata kalo dia anaknya Budhe Saras. Tapi ga mirip! Cowok itu emang keliatan blasteran. Bukan blasteran jawa ama padang tentunya. Blasteran orang luar ama Indonesia. Tapi, yang mendominasi dia itu, orang asingnya. Ugh! Ga ada yang memperkenalkan dia. Siapa ya, namanya? Humm... Richard? Nicholas? David? Sebastian? No idea!
Aku mengundurkan diri setelah berbasi-basi sejenak--ini bukan salah ketik! Abisnya emang basi beneran! Tiga kali mereka tanya namaku. Dua kali mereka tanya sekolahku. Empat kali mereka tanya kelasku. Empat kali lagi mereka tanya cita-citaku. Dan lima kali mereka tanya rumah orang tuaku serta alasanku tinggal bersama Eyang. Huff!! Basi deh!--. Aku meminta ijin untuk kembali ke kamar dan bersiap-siap menghadiri kumpulan karang taruna. Aku senang bisa terlepas dari ritual berbasi-basi ini. Tapi tetep aja ada yang mengganjal di hatiku. Namanya siapa sih?


Aku mengingat kembali bule nyasar di rumah tadi. Humm... He’s just like my dreamy prince. Kulitnya putih, bukan putih transparan kaya’ kulit orang luar yang ga punya melanin itu. Putih yang, indah. Tubuhnya tinggi dan tegap. Rambutnya berwarna coklat dan sedikit berombak. Matanya berwarna coklat cerah. Cocok banget sama rambut coklatnya. Hidungnya mancung. Bibirnya terlihat tipis dan berwarna merah muda. Ugh.. yang ga bisa aku lupakan darinya, dia itu, wa..
“Woy!!” seseorang berteriak di telingaku. Membuyarkan seluruh bayangan sempurna Prince charming.
..ngi. lanjutku dengan kesal.
Aku menoleh cepat menuju arah datangnya sumber suara. Tepatnya berada di sebelah kananku. Ups! Hampir aku menabrak wajah jutek seorang cowok yang berjarak ga lebih dari sepuluh sentimeter dari wajahku. Aku mendorongnya kesal.
“Apaan sih!”
“Bukan ‘apaan sih!’” kata cowok itu meniru suaraku. Aku sebal sekali kalau dia melakukan itu. “Catet hasil rapatnya dong! Sekretaris tu kerjanya nyatet-nyatet! Bukannya ngalamun buat nyantet!” Aku mendengus kesal mendengar candaan ga mutunya. “Ayo mulai bikin! Banyak yang harus kamu selesein hari ini. Karena itu, kamu ga boleh pulang sebelum semuanya selesai. Kalo perlu, kamu nginep aja di rumah Pipi!” katanya ketus.
Ugh! Main perintah aja. Dasar Demon! Wuits.. ini bukan panggilan khususku ke dia lho. Anak-anak desa juga sering manggil dia Demon. Abisnya, dia sering galak kalo ada orang yang ga bener. Dan lagi, sampai kelas 5 SD, dia masih aja salah menuliskan nama aslinya, beni, jadi demi. Yah, Dia susah banget bedain b ama d dan n ama m. Karena demi rasanya kurang mengandung unsur ejekan, teman-temannya mengubah-ubah nama-salah-tulisnya jadi demon. Jadilah panggilan Demon untuknya sejak saat itu. [maksa banged gag see?]
Bukan waktunya ngalamun kalo gitu. Ayo kerja. Kerja. Aku ga mau buka puasa di rumah orang. Bukannya apa-apa. Tapi, eyang udah ngebikinin kolak pisang spesial di rumah. Aku ga mau melewatkannya dong.

Aku mengusap mataku yang perih. Ternyata komputer emang ngebuat mata perih ya? Baru kali ini aku diharuskan mengetik berlembar-lembar tulisan. Capek. Aku menengok, melihat jam yang tergantung di ruang keluarga Pipi. Udah hampir jam 5. Aku melihat tumpukan kertas di hadapanku. Tinggal satu lembar dan aku bisa pulang.
Pulang nanti, aku mau ajak ngobrol bule itu, ah! Kaya’nya dia ga bisa bahasa Indonesia deh. Mungkin aku bisa mengajarinya sedikit bahasa Indonesia. Membayangkannya membuat aku tersenyum geli. Seperti pelajaran anak kelas 1 SD? Ini pensil. Itu meja. Ini pintu. Hahaha...
“Kerja!” kata Demon yang menyadari senyum geliku.
Ugh! Aku memalingkan wajah dan kembali berkutat dengan komputer Pipi.

Aku bener-bener kecewa ketika sampai di rumah pada pukul 17.18. Bule itu lagi pergi sama keluarga besarnya tadi. Pergi nyekar kata eyang. Ha? Si bule tau adat nyekar juga? Hahaha.. aku ga bisa bayangin kagetnya deh. Biasanya, pemakaman di luar negeri, kan, keliatan hijau. Di sini, penuh debu. Aduh-aduh. Aku dengar dia alergi debu dan kucing. Kasian banget. Di sini, banyak banget yang namanya kucing liar. Apalagi debu. Tersebar di semua tempat. Mudah-mudahan dia ga kapok dateng ke sini.
Yah, kegagalanku ngobrol sore itu aku alihkan. Mungkin, setelah tarawih aku bisa ngobrol dengannya. Kenapa habis tarawih? Karena dia baru balik dari nyekar dan jalan-jalan sesaat setelah bedug maghrib. Saat aku mau mengajaknya ngobrol setelah buka puasa, dia malah mengunci diri di kamar mandi dan mandi selama berjam-jam. Yah, aku terlalu melebihkan sih. Tapi, saat aku berangkat tarawih, dia belum juga keluar dari kamar mandi. Luluran dulu, mas?

Sepanjang perjalanan pulang tarawih, aku tersenyum geli. Heran juga, sepertinya, tamu ini bukan jenis tamu yang membuat aku bosan setengah mati--bukan setengah hidup. Walo sebenarnya sama aja, setengah mati berarti masih hidup. Tapi, setengah hidup berarti dari mati jadi hidup.—
Aku teringat Pipi, Wulan, Tiwi, Winda, dan beberapa cewek lain tadi, menanyaiku tentang cowok bule itu. Mereka terlihat ga percaya dan ingin membuktikannya dengan mata mereka sendiri. Beberapa yang lainnya ingin ngobrol dengan si bule. Tapi yang membuatku tak henti tersenyum ya, pertanyaan Winda tadi. “
Yak! Kali ini aku bertekad mengajaknya ngobrol. Walaupun dia sedang duduk bersama ibunya di ruang tamu, aku akan menarik tangannya dan memintanya ngobrol denganku. Aku udah mempersiapkan pertanyaanku dari tadi. Haduh, sampe ga khusyuk sama sekali tarawihku tadi [maafkan aku ya, Allah..]
Aku memasuki rumah dengan hati riang. Aku tanggalkan mukenaku. Kulipat rapi dan kuletakkan di atas meja. Yap! Ayo kita ke depan!

Excuse me.” Kataku sopan. “If you don’t mind, would you help me, please?”
Si bule mengangguk. “Okay.” Jawabnya ramah.
Let’s talk there.” Kataku sambil menunjuk ke arah luar. Ke arah bangku kecil di tengah taman. Di sebelah kolam ikan. Aku berjalan di sampingnya saat melihat anggukannya. Tanda persetujuan.
What can I do?” tanya si bule setelah kami duduk di bangku itu.
You know, I have same assignment from my teacher. One of them is talking to foreigner. Can you help me? It’s just a short conversation.” Bujukku.
Okay. What do you wanna know?” tanya si bule.
Let me know your name, first. Oh yeah! Before it, my name is Cahyani Putri. You know? Cahya is cahaya, light. Putri is.. princess.” Kataku sambil nyengir.
Princess?” ulangnya.
Yah, I’m not a really princess for everyone, of course. I’m princess for me.” Kali ini aku tersenyum lebih lebar.
But, for me, You are a real princess.” Kata si bule tanpa malu. Hyaahh... apa pipiku jadi semerah tomat, sekarang? Tidak! Tidak!

Aku terpaku. Ruang tamu terlihat kosong. Ga ada seorang pun di sana. Hanya ada cangkir-cangkir kotor dan stoples-stoples kue. Ugh! Cuma bayanganku ya, tadi? Aku mendengus kesal. Ke mana orang-orang pada jam segini? Aku melirik jam yang tergantung di atas TV di ruang keluarga. Pukul 19.24. Aku mengintip ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Terlihat si bule sedang bersiap tidur di sana. Hallooww!! Ini masih jam setengah delapan lho!!
Pupus sudah harapanku ngobrol dengan bule hari ini. Ah! Masih ada besok. Aku akan mengajaknya ngobrol setelah sahur atau setelah dia sarapan. Atau mungkin, akan ada banyak waktu setelah aku pulang sekolah. Aku janji, aku langsung pulang ke rumah besok, untuk ngobrol dengan dia. Aku ga akan main-main dulu deh. Jadi, bule cakep, tunggu aku yawh!!
Aku meninggalkan ruang keluarga setelah mematikan lampu-lampunya. Lalu masuk ke kamar dan berharap besok diberi kesempatan untuk ngobrol.

Ugh.. mataku perih banget. Ritual sehari-hariku pada pagi hari selama bulan puasa adalah tidur setelah sholat subuh. Seenggaknya, aku bisa tidur satu jam sebelum kembali beraktifitas di sekolah. Tapi kali ini, aku memilih untuk stay tune di ruang keluarga setelah subuh. Berharap si bule bangun dengan rambut bangun tidurnya. Berharap bisa mendapat kesempatan untuk ngobrol sebelum sekolah.
Pukul 4.42 aku menguap. Melirik pintu kamar si bule. Ga ada tanda-tanda akan di buka. Huuff.. mungkin jadwal bangunnya jam setengah enam? Aku mengganti-ganti chanel TV setengah hati. Aku bosan menunggu seperti ini.
Sponge Bob, iklan lampu, siraman rohani, iklan pasta gigi, iklan permen penyegar mulut, iklan obat batuk. Bosaaannn.. Aku melirik jam dinding yang masih setia berdetak di atas TV. Pukul 5.24 dan masih belum ada tanda-tanda akan keluar sesosok makhluk pun dari kamar si bule.
Aku menyerah untuk menunggu di depan TV seperti ini. Kali ini, sambil menunggunya, aku memutuskan untuk mandi saja. Aku mengambil handuk yang tersampir pada kawat jemuran. Mengambil seragamku yang tampaknya harus di seterika lagi. Baguslah, ada pekerjaan tambahan. Menyeterika baju bisa digunakan untuk menunggu juga.
Aku keluar kamar mandi dan melihat ruang keluarga yang masih kosong. Aku melihat jam dinding yang masih saja berdetak di atas TV itu. Pukul 6.15. what’s wrong with him? What’s wrong with them? It’s 6.15 and they haven’t woke up yet!! Jam berapa sih, mereka bangun? Jam sepuluh?
Aku berjalan keluar kamar dengan tas penuh berisi buku pelajaran. Setelah memakai kaus kaki dan sepatu, aku mencari eyang untuk pamit pergi ke sekolah. Seperti biasa. Eyang selalu ada di pawon pada jam segini. Memanaskan air untuk minum dan mandi.
“Eyang, nanti tamunya pulang jam berapa?” tanyaku penasaran. Mudah-mudahan setelah dhuhur.
“Jam sebelas mungkin.” Jawab eyang singkat. Hah? Jam sebelas? Aku hanya punya waktu beberapa menit untuk ngobrol dengannya. Mudah-mudahan sekolah tiba-tiba memulangkan siswanya jam delapan nanti. Jadi ada banyak waktu untuk ngobrol.
“Oh ya, eyang. Nama anaknya budhe Saras tu siapa sih?” aku bener-bener penasaran dengan yang satu ini.
“Siapa ya? Keristop?” jawab eyang medok.
“Christoph.” Ulangku lebih lembut.
“Iya, itu. Dia sekarang kelas 1 SMA lho, Ya. Adikmu. Tapi kamu manggil dia, mas.” Tambah eyang tanpa kuminta.
“Ohh..” jawabku karena ga tau harus ngomong apalagi. “Oke deh, eyang. Aku berangkat dulu ya.” Aku mencium pipi eyang dan berlari kecil ke arah mas Amri yang menjemputku setiap berangkat sekolah. Mas Amri ini sepupuku. Dia tinggal dua rumah dari rumah eyang. Jadi aku bisa sering main ke tempatnya.

Ga ada satu pun pelajaran hari ini yang masuk ke kepalaku. Aku memikirkan prince charming bernama christoph. Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apa dia sedang bersiap untuk pulang ke negaranya? Kapan sih, bel pulang bunyi? Aku pingin ketemu. Aku pingin ngobrol. Oke. Kalo ngobrol emang terlalu muluk. Boleh lah, kalo hanya ketemu. Boleh lah, hanya menatapnya.
Jam pelajaran yang menyiksa itu akhirnya berakhir juga. Aku menyelempangkan tasku dan segera keluar kelas. Aku bahkan ga mempedulikan teriakan Pungkas yang memintaku untuk kembali. Enak aja balik. Aku mau ketemu prince charming tau! Aku berlari kecil melewati jalan panjang yang kemaren terasa panas itu. Hari ini aku ga begitu merasakannya. Aku hanya ingin sampai di rumah dan bertemu dengannya.
Aku buru-buru masuk rumah dan berlari menuju ruang tamu. Christoph. I wanna meet him!
Terlambat. Ga ada orang di ruang tamu. Kamarnya juga udah kosong. Aku melemparkan diriku di kasurnya. Kelelahan menjalari seluruh tubuhku. Keringat juga membanjiri wajahku. Bukan itu saja. Aku menangis. Aku merasa kehilangan. Aku kehilangan sosok prince charming itu. Aku tau ga boleh ada rasa lebih itu. Tapi ini masalah hati. Ga ada yang bias membohongi hati yang begitu suci, kan?
Aku merasakan airmata membasahi pipiku. Tidak membanjirinya. Hanya membasahinya. Mungkin karena wangi yang tertinggal di seprai ini. Wangi christoph. Seandainya aku bisa bertemu lagi dengannya. Seandainya aku bisa mengobrol dengannya.
Aku melamunkan segala ‘seandainya’ yang lain. Aku menikmati ‘seandainya’ itu. Menutup mata, aku meresapi ‘seandainya’. Menghirup wangi christoph yang tertinggal.
BRAK!!
Aku terbangun kaget. Pintu kamarnya menjeblak terbuka.
Thank God!” seru seseorang yang aku tebak, membuka pintu tadi dengan kasar. Aku ga memercayai pendengaranku. Aksen yang ga mungkin dimiliki orang Indonesia. Aku menoleh dan menemukannya berdiri di dekat pintu. Di sebelah lemari. Dia membawa sebuah kamera di tangannya.
Sorry.” Katanya setelah menyadari kehadiranku.
Are you Christoph?” tanyaku meyakinkan penglihatanku.
Yes.” Jawabnya singkat.
I think, you’ve already gone to Jakarta.” Kataku bingung.
Yeah. I miss it. So, I’m back.” Jawabnya sambil mengangkat kameranya. “And I think, I’ll pass my summer here. Do you mind?” tanyanya sopan. “My mom said that u’d guide me to go to some recreation place in Klaten and Yogya.” Dia terlihat canggung saat mengatakan Klaten dan Yogya.
Aku tersenyum melihatnya. Sepertinya, puasa ini akan sangat menyenangkan untukku. “Of course.” Aku memberikan senyumku lagi. Senyum yang termanis. “And let’s learn Indonesian language.” Christoph mengangguk dan membalas senyumku. Oh! My prince charming!!

0 komentar: