BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 24 Desember 2008

story bout mothers day

Ku buka album biru
Penuh debu dan usang
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku

Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu ditimang

Nada-nada yang indah
Slalu terurai darimu
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritamu

Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan

Oh bunda ada dan tiada
dirimu kan selalu ada didalam hatiku


Sekarang udah tanggal 23 Desember..
Satu hari setelah hari ibu..

Kemaren, aku ingin jadi orang pertama yang memberi ucapan pada ibuku..
Aku ingin jadi orang pertama yang mengucapkan terima kasih pada ibunya..
Sayangnya gag bisa..
Ibu, yang ada di cilacap, harus pergi pagi-pagi banget untuk mengejar waktu diklat di yogya..
Hatiku sakit banget waktu adekku mengabarkan hal itu..
Jam 3 dini hari..
Naik bis sendiri..
Dengan barang bawaan untuk sepuluh hari..
Ibuku yang berjuang..

Kenapa harus sepagi itu?
Kalau memang gag bisa dicapai dalam waktu cukup jika berangkat dari cilacap setidaknya jam 7 pagi, kenapa tidak berangkat hari sebelumnya?
Supaya bisa punya waktu beristirahat yang cukup sebelum diklat..

Aku tidak diberitahu alasannya..
Tapi mungkin sebenarnya aku tahu..
Ibu gag tega meninggalkan adek-adekku lebih lama..
Sepuluh hari itu terlalu lama..

Aku bertekad, malam itu aku harus ngucapin selamat hari ibu..
Aku ingin ibu tau kalau aku sangat berterima kasih atas semuanya..

Jam 7, malam, aku kirim sms untuk ibu..
Siapa tau ibu sedang beristirahat, aku gag mau mengganggu..
Gag dibalas..
Aku pikir, ‘yah, ibu istirahat..ya udah deh, besuk aja, telat sehari gag pa pa.. yang penting, kan, maknanya itu..’

Jam setengah sebelas ada sms yang masuk..
Ternyata dari ibu..
Ibu minta maaf karena baru bisa balas smsku..
Ibu bilang, kuliahnya baru selesai jam sepuluh..

Tanpa pikir panjang, aku menelpon beliau..
Aku ingin berterima kasih..
Dan terima kasih itu gag cukup dengan tulisan..
Aku ingin mengatakannya langsung..
Bahkan memeluknya, seandainya ibu ada di dekatku sekarang..

Saat telponnya diangkat, aku tercekat..
Suara ibu gag seperti biasanya..
Biasanya ibu terdengar ceria..
Tapi kali ini, rasanya ibu sangat lelah..

Aku mengucapkan ‘selamat hari ibu’ dengan sedikit tersendat..
Memikirkan ibu yang sedang kecapekan..
Aku mengucapkan terima kasih dengan terbata-bata..
Memikirkan semua yang telah ibu berikan padaku..
Aku mengucapkan ‘putri sayaaanggg banget sama ibu’ dengan terisak..
Sesak..
Begitu besar cinta yang telah ibu berikan padaku..
Tak dapat aku membalasnya..
Sedikit pun ga bisa..
Kata-kata itu hanya suatu ungkapan yang gag pernah bisa membalas semua yang diberikan ibu padaku..
Aku mendengar ibu terisak..
Lalu aku mematikan telponku..
Aku gag mau ibu mendengarku menangis..
Aku juga gag mau membuat ibu menangis..

Sesak..
Mengingat ibu..
Mengingat semua pengorbanannya..
Mengingat semua yang diberikannya..
Mengingat ibu..
Mengingat nyawa yang dipertaruhkannya..

Terima kasih, bu..

Aku gag bisa membalasnya dengan apa pun..
Kecuali kenakalanku yang membuat ibu bersedih..
Kecuali kengeyelanku yang membuat ibu khawatir..

Maafkan aku, bu..


Senin, 22 Desember 2008

mothers day..


glitter-graphics.com



glitter-graphics.com

mY pRiNcE ChaRmiNg

Ufh! Bulan puasa kali ini panas banget! Kenapa ga ada hujan ya? Ini kan udah masuk bulan penghujan. Aku melirik ke kanan dan ke kiri. Ga ada satu pun bayangan yang bisa dipakai berteduh. Gila! Kenapa sih, pohon di sepanjang jalan ini harus ditebang?! Panasnya bisa buat telur mata sapi neeh! Enak banget dimakan bareng es teh buatan Mbak Arum, pembantu rumahku. Sayangnya, hari ini masih bulan puasa. Duhh.. Mana bakal ada tamu lagi. Sumpek. Sumpek. Sumpek!!
Lho.. lho.. lagi puasa kok isinya keluhan semua? Sabar.. sabar.. bentar lagi, aku sampe rumah. Kaki yang serasa mau copot sendiri ini bisa aku kompres pake air dingin. Trus, karena ga bisa minum, aku bisa mengademkan diri di depan kipas angin. Kalo perlu, mandi dulu deh! Biar seger. Umm, soal tamu, aku bisa menghindar karena ada pertemuan karang taruna. Wah! Aku bisa melarikan diri dong! Asik! Ngademnya di tempat Pipi aja deh. Hehehe...
Aku memasuki halaman rumah yang teduh dari pintu samping. Tengok kanan, tengok kiri, leat depan. Aman.. aman.. Aku merasakan semilir angin yang bertiup ke arahku. Aduh, sejuknya rumahku ini. Eits! Tapi aku tetep harus hati-hati. Humm! Jangan sampe ketauan eyang. Kalo ketauan, rencana melarikan diriku batal dong! Ga mau! Ga mau! Pokoknya aku mau melarikan diri aja! Males banget menjalani ritual itu. Itu lho, berbasa-basi ama tamu. Basi ah! Mending ikut kumpulan kalee
Yosh! Berhasil melewati pintu samping dengan selamat. Begitu juga dengan dapur dan ruang makan. Sepertinya eyang emang lagi di depan deh. Hehehe... lancar. Lancar. Tinggal lari ke kamar nih. Abis itu, ganti baju, terus melarikan diri ke rumah Pipi deh! Asik! A..
“Lho? Aya baru pulang ya?” Ow.. ow.. gagal deh. Aku berbalik menghadapi pemilik suara tenang itu. Aku tersenyum dengan tampang innocent. “Tumben lewat samping. Ayo salim dulu sama eyang sama budhe.” Eyang memerintahkan dengan suara tenang. Bukan nada perintah. Ajakan. Tapi tetep aja.
Ugh.. “Sekarang?” tanyaku malas. Please, let me go.
“Iya dong. Ayo.” Eyang menarik tanganku ke arah ruang tamu. Aku terpaksa mengikutinya. Ga mungkin dong, aku membiarkan tanganku sendirian ke sana tanpa aku?
Aku mencium tangan Eyang Bagyo, kakak eyang yang ketiga. Ga lupa mencium tangan Pakdhe Pras, pria besar yang kulitnya putih banget. Haduh, jadi minder liat kulit kecoklatanku. Dilanjutkan dengan Budhe Dita, istri Pakdhe Pras. Wah, cantik banget deh, Budhe Dita itu. Tinggi, langsing, cantik, dan ga kalah putih sama suaminya. Seandainya aku yang seperti itu. Wah, pasti pada ga percaya tuh. Aku tersenyum geli memikirkannya.
“Kok senyum.” Tegur seorang wanita bertubuh besar. Kalo dilihat-lihat wanita itu terlihat mirip dengan Pakdhe Pras. Yah, gimana ga mirip. Namanya juga kakak adik. Wanita itu bernama Budhe Saras. Ah! Jadi inget film jagoan yang judulnya sama dengan namanya. Aku menunduk lagi. Tersenyum.
“Tuh, kan. Senyum lagi.” Kata Budhe Dita ramah.
Aku mengangkat wajahku yang masih terhias senyum. “Kan senyum adalah ibadah, Budhe.” Jawabku ngasal. Kaya’nya bukan gitu deh, bunyinya. Jadi aku Cuma nyengir sok innocent lagi.
Aku menyalami lagi seorang cowok. Wah, aku kira dia bule nyasar! Hampir aja aku mau bilang, ‘Sorry, bro. I think You are in a wrong place. Here is Klaten, it’s not Sydney.’ Tapi, tentu saja, aku mengurungkan niat itu. Sepertinya, aku mendengar eyang berkata kalo dia anaknya Budhe Saras. Tapi ga mirip! Cowok itu emang keliatan blasteran. Bukan blasteran jawa ama padang tentunya. Blasteran orang luar ama Indonesia. Tapi, yang mendominasi dia itu, orang asingnya. Ugh! Ga ada yang memperkenalkan dia. Siapa ya, namanya? Humm... Richard? Nicholas? David? Sebastian? No idea!
Aku mengundurkan diri setelah berbasi-basi sejenak--ini bukan salah ketik! Abisnya emang basi beneran! Tiga kali mereka tanya namaku. Dua kali mereka tanya sekolahku. Empat kali mereka tanya kelasku. Empat kali lagi mereka tanya cita-citaku. Dan lima kali mereka tanya rumah orang tuaku serta alasanku tinggal bersama Eyang. Huff!! Basi deh!--. Aku meminta ijin untuk kembali ke kamar dan bersiap-siap menghadiri kumpulan karang taruna. Aku senang bisa terlepas dari ritual berbasi-basi ini. Tapi tetep aja ada yang mengganjal di hatiku. Namanya siapa sih?


Aku mengingat kembali bule nyasar di rumah tadi. Humm... He’s just like my dreamy prince. Kulitnya putih, bukan putih transparan kaya’ kulit orang luar yang ga punya melanin itu. Putih yang, indah. Tubuhnya tinggi dan tegap. Rambutnya berwarna coklat dan sedikit berombak. Matanya berwarna coklat cerah. Cocok banget sama rambut coklatnya. Hidungnya mancung. Bibirnya terlihat tipis dan berwarna merah muda. Ugh.. yang ga bisa aku lupakan darinya, dia itu, wa..
“Woy!!” seseorang berteriak di telingaku. Membuyarkan seluruh bayangan sempurna Prince charming.
..ngi. lanjutku dengan kesal.
Aku menoleh cepat menuju arah datangnya sumber suara. Tepatnya berada di sebelah kananku. Ups! Hampir aku menabrak wajah jutek seorang cowok yang berjarak ga lebih dari sepuluh sentimeter dari wajahku. Aku mendorongnya kesal.
“Apaan sih!”
“Bukan ‘apaan sih!’” kata cowok itu meniru suaraku. Aku sebal sekali kalau dia melakukan itu. “Catet hasil rapatnya dong! Sekretaris tu kerjanya nyatet-nyatet! Bukannya ngalamun buat nyantet!” Aku mendengus kesal mendengar candaan ga mutunya. “Ayo mulai bikin! Banyak yang harus kamu selesein hari ini. Karena itu, kamu ga boleh pulang sebelum semuanya selesai. Kalo perlu, kamu nginep aja di rumah Pipi!” katanya ketus.
Ugh! Main perintah aja. Dasar Demon! Wuits.. ini bukan panggilan khususku ke dia lho. Anak-anak desa juga sering manggil dia Demon. Abisnya, dia sering galak kalo ada orang yang ga bener. Dan lagi, sampai kelas 5 SD, dia masih aja salah menuliskan nama aslinya, beni, jadi demi. Yah, Dia susah banget bedain b ama d dan n ama m. Karena demi rasanya kurang mengandung unsur ejekan, teman-temannya mengubah-ubah nama-salah-tulisnya jadi demon. Jadilah panggilan Demon untuknya sejak saat itu. [maksa banged gag see?]
Bukan waktunya ngalamun kalo gitu. Ayo kerja. Kerja. Aku ga mau buka puasa di rumah orang. Bukannya apa-apa. Tapi, eyang udah ngebikinin kolak pisang spesial di rumah. Aku ga mau melewatkannya dong.

Aku mengusap mataku yang perih. Ternyata komputer emang ngebuat mata perih ya? Baru kali ini aku diharuskan mengetik berlembar-lembar tulisan. Capek. Aku menengok, melihat jam yang tergantung di ruang keluarga Pipi. Udah hampir jam 5. Aku melihat tumpukan kertas di hadapanku. Tinggal satu lembar dan aku bisa pulang.
Pulang nanti, aku mau ajak ngobrol bule itu, ah! Kaya’nya dia ga bisa bahasa Indonesia deh. Mungkin aku bisa mengajarinya sedikit bahasa Indonesia. Membayangkannya membuat aku tersenyum geli. Seperti pelajaran anak kelas 1 SD? Ini pensil. Itu meja. Ini pintu. Hahaha...
“Kerja!” kata Demon yang menyadari senyum geliku.
Ugh! Aku memalingkan wajah dan kembali berkutat dengan komputer Pipi.

Aku bener-bener kecewa ketika sampai di rumah pada pukul 17.18. Bule itu lagi pergi sama keluarga besarnya tadi. Pergi nyekar kata eyang. Ha? Si bule tau adat nyekar juga? Hahaha.. aku ga bisa bayangin kagetnya deh. Biasanya, pemakaman di luar negeri, kan, keliatan hijau. Di sini, penuh debu. Aduh-aduh. Aku dengar dia alergi debu dan kucing. Kasian banget. Di sini, banyak banget yang namanya kucing liar. Apalagi debu. Tersebar di semua tempat. Mudah-mudahan dia ga kapok dateng ke sini.
Yah, kegagalanku ngobrol sore itu aku alihkan. Mungkin, setelah tarawih aku bisa ngobrol dengannya. Kenapa habis tarawih? Karena dia baru balik dari nyekar dan jalan-jalan sesaat setelah bedug maghrib. Saat aku mau mengajaknya ngobrol setelah buka puasa, dia malah mengunci diri di kamar mandi dan mandi selama berjam-jam. Yah, aku terlalu melebihkan sih. Tapi, saat aku berangkat tarawih, dia belum juga keluar dari kamar mandi. Luluran dulu, mas?

Sepanjang perjalanan pulang tarawih, aku tersenyum geli. Heran juga, sepertinya, tamu ini bukan jenis tamu yang membuat aku bosan setengah mati--bukan setengah hidup. Walo sebenarnya sama aja, setengah mati berarti masih hidup. Tapi, setengah hidup berarti dari mati jadi hidup.—
Aku teringat Pipi, Wulan, Tiwi, Winda, dan beberapa cewek lain tadi, menanyaiku tentang cowok bule itu. Mereka terlihat ga percaya dan ingin membuktikannya dengan mata mereka sendiri. Beberapa yang lainnya ingin ngobrol dengan si bule. Tapi yang membuatku tak henti tersenyum ya, pertanyaan Winda tadi. “
Yak! Kali ini aku bertekad mengajaknya ngobrol. Walaupun dia sedang duduk bersama ibunya di ruang tamu, aku akan menarik tangannya dan memintanya ngobrol denganku. Aku udah mempersiapkan pertanyaanku dari tadi. Haduh, sampe ga khusyuk sama sekali tarawihku tadi [maafkan aku ya, Allah..]
Aku memasuki rumah dengan hati riang. Aku tanggalkan mukenaku. Kulipat rapi dan kuletakkan di atas meja. Yap! Ayo kita ke depan!

Excuse me.” Kataku sopan. “If you don’t mind, would you help me, please?”
Si bule mengangguk. “Okay.” Jawabnya ramah.
Let’s talk there.” Kataku sambil menunjuk ke arah luar. Ke arah bangku kecil di tengah taman. Di sebelah kolam ikan. Aku berjalan di sampingnya saat melihat anggukannya. Tanda persetujuan.
What can I do?” tanya si bule setelah kami duduk di bangku itu.
You know, I have same assignment from my teacher. One of them is talking to foreigner. Can you help me? It’s just a short conversation.” Bujukku.
Okay. What do you wanna know?” tanya si bule.
Let me know your name, first. Oh yeah! Before it, my name is Cahyani Putri. You know? Cahya is cahaya, light. Putri is.. princess.” Kataku sambil nyengir.
Princess?” ulangnya.
Yah, I’m not a really princess for everyone, of course. I’m princess for me.” Kali ini aku tersenyum lebih lebar.
But, for me, You are a real princess.” Kata si bule tanpa malu. Hyaahh... apa pipiku jadi semerah tomat, sekarang? Tidak! Tidak!

Aku terpaku. Ruang tamu terlihat kosong. Ga ada seorang pun di sana. Hanya ada cangkir-cangkir kotor dan stoples-stoples kue. Ugh! Cuma bayanganku ya, tadi? Aku mendengus kesal. Ke mana orang-orang pada jam segini? Aku melirik jam yang tergantung di atas TV di ruang keluarga. Pukul 19.24. Aku mengintip ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Terlihat si bule sedang bersiap tidur di sana. Hallooww!! Ini masih jam setengah delapan lho!!
Pupus sudah harapanku ngobrol dengan bule hari ini. Ah! Masih ada besok. Aku akan mengajaknya ngobrol setelah sahur atau setelah dia sarapan. Atau mungkin, akan ada banyak waktu setelah aku pulang sekolah. Aku janji, aku langsung pulang ke rumah besok, untuk ngobrol dengan dia. Aku ga akan main-main dulu deh. Jadi, bule cakep, tunggu aku yawh!!
Aku meninggalkan ruang keluarga setelah mematikan lampu-lampunya. Lalu masuk ke kamar dan berharap besok diberi kesempatan untuk ngobrol.

Ugh.. mataku perih banget. Ritual sehari-hariku pada pagi hari selama bulan puasa adalah tidur setelah sholat subuh. Seenggaknya, aku bisa tidur satu jam sebelum kembali beraktifitas di sekolah. Tapi kali ini, aku memilih untuk stay tune di ruang keluarga setelah subuh. Berharap si bule bangun dengan rambut bangun tidurnya. Berharap bisa mendapat kesempatan untuk ngobrol sebelum sekolah.
Pukul 4.42 aku menguap. Melirik pintu kamar si bule. Ga ada tanda-tanda akan di buka. Huuff.. mungkin jadwal bangunnya jam setengah enam? Aku mengganti-ganti chanel TV setengah hati. Aku bosan menunggu seperti ini.
Sponge Bob, iklan lampu, siraman rohani, iklan pasta gigi, iklan permen penyegar mulut, iklan obat batuk. Bosaaannn.. Aku melirik jam dinding yang masih setia berdetak di atas TV. Pukul 5.24 dan masih belum ada tanda-tanda akan keluar sesosok makhluk pun dari kamar si bule.
Aku menyerah untuk menunggu di depan TV seperti ini. Kali ini, sambil menunggunya, aku memutuskan untuk mandi saja. Aku mengambil handuk yang tersampir pada kawat jemuran. Mengambil seragamku yang tampaknya harus di seterika lagi. Baguslah, ada pekerjaan tambahan. Menyeterika baju bisa digunakan untuk menunggu juga.
Aku keluar kamar mandi dan melihat ruang keluarga yang masih kosong. Aku melihat jam dinding yang masih saja berdetak di atas TV itu. Pukul 6.15. what’s wrong with him? What’s wrong with them? It’s 6.15 and they haven’t woke up yet!! Jam berapa sih, mereka bangun? Jam sepuluh?
Aku berjalan keluar kamar dengan tas penuh berisi buku pelajaran. Setelah memakai kaus kaki dan sepatu, aku mencari eyang untuk pamit pergi ke sekolah. Seperti biasa. Eyang selalu ada di pawon pada jam segini. Memanaskan air untuk minum dan mandi.
“Eyang, nanti tamunya pulang jam berapa?” tanyaku penasaran. Mudah-mudahan setelah dhuhur.
“Jam sebelas mungkin.” Jawab eyang singkat. Hah? Jam sebelas? Aku hanya punya waktu beberapa menit untuk ngobrol dengannya. Mudah-mudahan sekolah tiba-tiba memulangkan siswanya jam delapan nanti. Jadi ada banyak waktu untuk ngobrol.
“Oh ya, eyang. Nama anaknya budhe Saras tu siapa sih?” aku bener-bener penasaran dengan yang satu ini.
“Siapa ya? Keristop?” jawab eyang medok.
“Christoph.” Ulangku lebih lembut.
“Iya, itu. Dia sekarang kelas 1 SMA lho, Ya. Adikmu. Tapi kamu manggil dia, mas.” Tambah eyang tanpa kuminta.
“Ohh..” jawabku karena ga tau harus ngomong apalagi. “Oke deh, eyang. Aku berangkat dulu ya.” Aku mencium pipi eyang dan berlari kecil ke arah mas Amri yang menjemputku setiap berangkat sekolah. Mas Amri ini sepupuku. Dia tinggal dua rumah dari rumah eyang. Jadi aku bisa sering main ke tempatnya.

Ga ada satu pun pelajaran hari ini yang masuk ke kepalaku. Aku memikirkan prince charming bernama christoph. Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apa dia sedang bersiap untuk pulang ke negaranya? Kapan sih, bel pulang bunyi? Aku pingin ketemu. Aku pingin ngobrol. Oke. Kalo ngobrol emang terlalu muluk. Boleh lah, kalo hanya ketemu. Boleh lah, hanya menatapnya.
Jam pelajaran yang menyiksa itu akhirnya berakhir juga. Aku menyelempangkan tasku dan segera keluar kelas. Aku bahkan ga mempedulikan teriakan Pungkas yang memintaku untuk kembali. Enak aja balik. Aku mau ketemu prince charming tau! Aku berlari kecil melewati jalan panjang yang kemaren terasa panas itu. Hari ini aku ga begitu merasakannya. Aku hanya ingin sampai di rumah dan bertemu dengannya.
Aku buru-buru masuk rumah dan berlari menuju ruang tamu. Christoph. I wanna meet him!
Terlambat. Ga ada orang di ruang tamu. Kamarnya juga udah kosong. Aku melemparkan diriku di kasurnya. Kelelahan menjalari seluruh tubuhku. Keringat juga membanjiri wajahku. Bukan itu saja. Aku menangis. Aku merasa kehilangan. Aku kehilangan sosok prince charming itu. Aku tau ga boleh ada rasa lebih itu. Tapi ini masalah hati. Ga ada yang bias membohongi hati yang begitu suci, kan?
Aku merasakan airmata membasahi pipiku. Tidak membanjirinya. Hanya membasahinya. Mungkin karena wangi yang tertinggal di seprai ini. Wangi christoph. Seandainya aku bisa bertemu lagi dengannya. Seandainya aku bisa mengobrol dengannya.
Aku melamunkan segala ‘seandainya’ yang lain. Aku menikmati ‘seandainya’ itu. Menutup mata, aku meresapi ‘seandainya’. Menghirup wangi christoph yang tertinggal.
BRAK!!
Aku terbangun kaget. Pintu kamarnya menjeblak terbuka.
Thank God!” seru seseorang yang aku tebak, membuka pintu tadi dengan kasar. Aku ga memercayai pendengaranku. Aksen yang ga mungkin dimiliki orang Indonesia. Aku menoleh dan menemukannya berdiri di dekat pintu. Di sebelah lemari. Dia membawa sebuah kamera di tangannya.
Sorry.” Katanya setelah menyadari kehadiranku.
Are you Christoph?” tanyaku meyakinkan penglihatanku.
Yes.” Jawabnya singkat.
I think, you’ve already gone to Jakarta.” Kataku bingung.
Yeah. I miss it. So, I’m back.” Jawabnya sambil mengangkat kameranya. “And I think, I’ll pass my summer here. Do you mind?” tanyanya sopan. “My mom said that u’d guide me to go to some recreation place in Klaten and Yogya.” Dia terlihat canggung saat mengatakan Klaten dan Yogya.
Aku tersenyum melihatnya. Sepertinya, puasa ini akan sangat menyenangkan untukku. “Of course.” Aku memberikan senyumku lagi. Senyum yang termanis. “And let’s learn Indonesian language.” Christoph mengangguk dan membalas senyumku. Oh! My prince charming!!

Senin, 15 Desember 2008

snaily

i luph blue



luphly snaily

RefREsH..

Dec 14th, 2008

Fiuhh..

Hari yang cukup melelahkan..

Tapi menyenangkan..

Seharian keliling Jogja (tentu saja bukan dalam arti sebenarnya keliling jogja dari utara ke selatan dan dari timur ke barat)

Ke gramedia ama book shopping..

Mencari buku dan buku dan buku..

Banyak hal yang terjadi

Dari yang menyenangkan, sampai yang menyebalkan

Yang membuatku terbungkam karena mabuk darat

Hingga yang membuatku pecicilan sampai membuat orang lain sebal..

Hahahahaha...

Semuanya dimulai dari jadwal keberangkatan yang kacau..

Malam sebelumnya, direncanakan untuk berangkat dari rumah jam 8

Tapi ternyata, jam 8 itu aku belum siap..

Jadinya, berangkat dari rumah jam 8 lebih sedikit..

Hehehe..

Sedikitnya itu kira2 30 menitan..

Sampai di tempat kumpul, rumahnya hepi, ternyata salah satu anggota kelompok kami, nov*, malah ngampiri aku di rumah..

Weleh2..

Papasan di jalan ternyata..

Lalu saya tidak mau menceritakan bagian naik bis ini..

Kenapa?

Karena saya sama sekali tidak menikmati perjalanannya..

Saya mabuk darat sodara-sodara...

Memalukan memang..

Tapi mau bagaimana lagi??

Perjalanan di jogja di mulai dari shelter bethesda..

Kami menuju gramedia yang jaraknya bisa bikin perut pegel dan kaki laper..

Lho? Kebalik sodara2..

Maksudnya perut laper dan kaki pegel..

di gramed, kami bertemu franklin yang sedang mendongeng..

tau franklin, kan?

Bukan franklin D roosevelt..

Itu loh, kartun kura2 di TV..

Sebenernya saya mau gabung gitu, sodara2

Tapi berhubung saya dan teman2 sedang buru2, dengan terpaksa saya meninggalkan franklin..

Setelah itu, sodara2, kami, dengan perut berkukuruyuk ria, menuju TKP ke2 yaitu book shopping..

Di sini tentu lebih bebas, sodara2

Mau pilih beli dimana

Mau nawar berapa

Tapi tentu saja, tempat yang kami datangi pertama kali adalah toko langganan kami

Setelah merayu2 mbaknya dengan gag terlalu lama..[Males ngerayu mulu..]

Kami gantian berdebat dengan mas2nya..

Tepatnya m.tom*y yang berdebat..

Tapi jujur saja

Itu namanya bukan berdebat

Tapi bercanda..

Hahahaha...

Setelah itu kami sholat dan makan bakso di pinggir jalan malioboro..

Baksonya mahall..

Padahal gag terlalu enak..

Mas2nya genit..

Gag banget deh, malah godain mlle.h*ppy gitu..

Setelah kami mengantar m.tom*y shelter terdekat,

Kami: saya sendiri, mlle.h*ppy, dan m.nov*, berjalan di sepanjang jalan malioboro untuk sampai di stasiun tugu.

Di sepanjang perjalanan, mlle.h*ppy dan m.nov* terjebak macet gitu deh...

Sedangkan saya..

Dengan mudahnya menyelip di antara orang2 dan meninggalkan mereka berdua di belakang..

Gimana yah, namanya orang slim getoo..

Hweheheheeehehe

Sampai di stasiun, mlle.h*ppy dengan kerelaan hati mengantri tiket kereta..

Wah, kalo dipikir2 lagi, saya ini kurang mengerti situasi ya, sodara2?
tapi kurang mengerti situasi itu saya tebus dengan meninggalkan mereka berdua untuk ngobrol di peron 2 [bukan peron 9 ¾ emangnya mau ke hogwarts?]

Saya membeli es teh gitu deh, sodara2..

Tapi, saya ternyata memang tidak tahu situasi..

Soalnya saya dengan buru2 kembali menemui mereka..

Haduh sodara2...

Saya jadi menyesal sekali..

Lha wong di dalam kereta, saya juga tidak mengerti situasi, sodara2!!

Kenapa??

Karena saya malah berada di tengah2 mereka berdua!!!

Haduhhh...

Maafkan saya mlle.h*ppy dan m.nov*...

Yah, akhirnya, kami sampai dan pulang ke rumah masing2..

Eh, geg dink, soalnya m.nov* nginep di kos kosan..

Sekian laporan saya tentang hari minggu kemaren sodara2...

NB: nama disamarkan agar yang bersangkutan tidak ketahuan..

hwehehehehe

bagi yang bersangkutan..

jangan marah ya..

hehehehe

untuk pihak2 yang terkait dan mendukung pelaksanaan kegiatan ini,

pakdhe novi yang udah traktir2

pakdhe tommy yang udah bikin ngakak sepanjang waktu

budhe heppy yang jadi guide..

hwehehehe

tingkyu..

tingkyu..

tingkyu..

Sabtu, 13 Desember 2008

i LoVe CoffEe


glitter-graphics.com


i sure luph soft coffee
not soft copy!!







coffee addict







i luph him n coffee




miSs Him LoT








just miss him..

it hurts me..

it hurts my heart..
glitter-graphics.com

ULUM!!!

I’m back!!
Setelah hampir dua minggu ga mengunjungi dan meng up date blog kesayanganku, rasanya kangen juga yawh…
Hwehehehe…

Aku mau cerita tentang kejadian2 waktu test nie..



THU, 4th DEC 2008

Hari ini jadawal ulumku bahasa inggris,
Karena kelasku agak ’beda’ dengan kelas2 lain,
Soal2ku pun khusus..
Bukan soal dari kabupaten..
Bukan soal dengan tambahan 3 essay..
Tapi soal dengan beberapa soal bahasa inggris..
{tapi kan, bahasa inggris tu udah pake bahasa inggris}
oh, ya, tentu saja
tapi nyatanya, soal kami berbeda..
jelas, yang buat soal guru kami sendiri..
tapi menyebalkannya, soal2 kami lebih sulit dari pada soal2 anak kelas lain..
apalagi b.inggrisnya, terutama listening sectionnya…
menyebalkan sekali..
i could listen nothing but 1 or 2 words each number...
sebenernya yang error tuh telingaku ato kaset atau speakerna seehhh???
ughh…
alhasil, 20 soal listening aku kerjain dengan mengandalkan keberuntungan semata…
wish me luck, guys..

yang ga habis pikir..
aku bisa ketawa ngakak selama ga kurang dari 7 menit terakhirku di lab. Bahasa, tempatku menjalankan ulum b.inggris..
ugh..
perutku pegel beudh...
gimana gag..
ketawa itu aku tahan2 biar gag meledak dan ngagetin orang sekelas termasuk pak pengawas yang agak {sory, bapak2 yang terhormat} nyebelin..
habisnya minta diulang sekali lagi, listening sectionnya, malah ditolak mentah2..
sebel gag seehhh???

Oh ya ,back to ngakak section..
Seingetku, itu gara2 mr. Toma niup2 benang..{or sumthing like that lahh…} dan sumthing itu terbang, melewati atas kaca, lalu mendekati ms. Jubid dan jatuh di depannya..
Melihat itu saja aku tertawa tanpa henti..
Aneh, kah?
hahaha...
Aku juga merasa aneh..
Kalau sekarang sih, aku bener2 gag ngerti, kenapa aku isa segitu ngakaknya..
Tapi nyatanya, kemaren emang gitu..

Senin, 24 November 2008

"Britney Spears Dear Diary lyrics"


Dear diary
Today I saw a boy
And I wondered if he noticed me
He took my breath away

Dear diary
I can't get him off my mind
And it scares me
'Cause I've never felt this way

No one in this world
Knows me better than you do
So diary I'll confide in you

Dear diary
Today I saw a boy
As he walked by I thought he smiled at me

And I wondered
Does he know what's in my heart
I tried to smile, but I could hardly breathe

Should I tell him how I feel
Or would that scare him away
Diary, tell me what to do
Please tell me what to say

Dear diary
One touch of his hand
Now I can't wait to see that boy again

He smiled
And I thought my heart could fly
Diary, do you think that we'll be more than friends?
I've got a feeling we'll be so much more


Lagu ini ngegambarin perasaanku banget waktu pertama kenal ama 'permen'

bener2 sama ama perasaanku saat itu...

sayangnya waktu berkata lain..

kenapa sih, dia harus bohong?

kenapa sih, dia harus ga jujur?

aku bisa menerima dia apa adanya..

aku suka dia apa adanya..

tapi kenapa dia harus bohong?

itu yang membuatku membencinya sekarang...

itu yang membuatnya kehilangan simpatiku..

aku membencinya...

ternyata 'permen' udah ga semanis peemen yang dulu..

ternyata 'permen' ga lagi semanis permen yang sebenarnya..

aku benci..

BENCI!!!

november rain

ini yang kasi nama temenku sih...
si mz heppy..
waktu aku bertanya, "lho? kenapa november rain?"
heppy menjawab dengan simple "abisnya november ini hujanna banyak."
tepatnya memang bukan seperti itu..
aku lupa..
abisnya udah lama..
tapi ya, mendekati itu lah..
yang pasti, kita tidak sedang memperdebatkan nama..
yang mau aku ceritain adalah acaranya...
begini ceritanya..


waktu menunjukkan pukul 11.30 WIN (waktu indonesia ngaret) setara dengan pukul 12.00 WIB
aku dan m.imam buru2 menuju ke sekolah..
kami menebak2, udah telat belom ya?
udah ditinggal belom ya??
maka dengan buru2 kami berangkat..
m.imam bahkan melanggar dua dari tiga lampu merah yang ada...
mengerikan...
untunglah tidak terjadi hal yang tidak diinginkan..
sesampainya di sekolah, ternyata baru beberapa orang yang datang...
memang ya, rakyat SOE ga ada yang bisa on time..

singkat cerita, setelah melewati jalan jogja-solo yang ramai, setelah saling salip menyalip, setelah dimarahin sama embak2 jutek nan galak, setelah kebablasen, aku dan kawand2 sampailah di tempat tujuan..

singkat cerita lagi,
kue yang guede itu di potong oleh anggota november rain
kuenya menggoda banged..
sayangnya pembagian kuenya lammmaaaa....
abisnya pada narsiz ria dengan kue mereka sih..

kue anin diberikan pada megum
kue megum diberikan pada anin
(tukeran kue, ya, mbak??)
kue chan2 diberikan pada ibunda tercinta
sedangkan kue du2, diberikan pada heppy dengan sorak2 bergembira seluruh yang hadir (^o^)/
tapi sayangnya, kenapa heppy yang harus mendekat?
du2 dong, yang nganterin kuena ke heppy..
jroji ya, mas, jadi ga bisa berdiri?
wekekekekekkk...

pulangnya, penuh dengan aral melintang..
saat naik getek untuk menyeberang, di tengah2 kolam, getek tiba2 terhenti, dan taukah anda?
getek itu bergoyang2 sendiri..
mengerikan..
untung saja tu getek nggak jungkir balik dan menyebabkan aku beserta seluruh penumpangnya basah kuyub..

setelah di bacakan ayat kursi, akhirnya getekku bisa sampai dengan selamat...
dalam peristiwa ini, dengan sedih kami umumkan, beberapa orang teman kami berubah profesi dari pelajar menjadi tukang narik getek...

tapi alhamdulillah, mereka tetap bersekolah..
:P
:P
:P
:P

Lawliet



jujur aja..
aku suka banget ama deathnote..
apalagi si L itu..
dalam versi komik ataupun movie..
yupz..
si takeshi matsuyama sudah merebut hatiku deh..
hwehehehe...
luph luph luph...

hoho...

tiap hari ujan..
tiap hari kerjain tugas..
tiap hari pulang sore..
capekna...
moga moga ga jatuh deh..
ga jatuh sakit getoo...

iyeeeiii!!!
mari kita bersemangad temand2..
satu minggu menjelang ujian semester..

Sabtu, 22 November 2008

Be My Ndut

Aku, Anya, Dana ama Saef udah deket sejak kami duduk depan-belakang di kelas 1 SMA. Udah sejak itu juga aku memiliki perasaan yang berbeda buat Dana. Nggak ada yang tau perasaan itu. Aku selalu yakin kalau aku bisa menyembunyikan perasaanku dengan sangat teliti. Yah, memang menyakitkan. Orang yang aku sukai berada tepat di belakangku. Tapi dia nggak tau perasaanku padanya. Nggak boleh tau. Dana nggak boleh tau. Karena perasaan yang aku punya Cuma bisa membebaninya.
Kenapa ya, aku bisa seyakin ini bisa membebaninya? Apa mungkin karena aku selalu melihat dia menatap Anya? Atau karena setiap aku, Dana dan Saef membicarakan Anya, Dana selalu menyanjung Anya? Yang mana pun membuat aku kesal. Mungkin itu yang namanya cemburu? Ha ha. Aku cemburu. Tapi, kalau memang Dana hanya ingin Anya, aku akan mundur. Biarlah sakit ini hanya aku yang memiliki. Cukup aku.


Kaya’ hari-hari biasanya, tiap pulang sekolah, aku, Saef ama Puput bakalan nunggu Anya selese latihan paduan suara. Kebetulan rumah kami berempat searah dan lumayan jauh dari sekolah. Jadi, Anya sering ngajak kami bareng naik mobil yang menjemputnya. Waktu kelas 1 awal, kami punya kesibukan yang sangat menyita waktu sampe sore. Itu sebabnya, Anya ngajak kami pulang bareng. Sore-sore gitu, angkutan udah sepi dan kami belum dibolehkan membawa kendaraan pribadi. Pilihan yang tersisa, ya cuma jemputannya Anya. Dulu sih, Cuma sekali-sekali kami nebeng Anya. Maklum, baru kenal, masih malu-malu. Tapi sekarang, kami cuek aja nebeng dia. Jadi malu-maluin nggak, sih? Hahaha. Nggak ada kegiatan sampe sore juga nggak masalah. Malah bisa ngecengin anak kelas 1 ama 3 di kantin mie ayamnya bu Broto. Dan yang terpenting, kami sering ngobrol bertiga di sini. Sampai akhirnya jadi ngobrol berempat kalau Anya udah selese latihan dan masih ada waktu nunggu jemputan.
Ah, kok Anya mulu ya? Yah, mau gimana lagi. Kalo udah ada di depan Ndut, aku ga bisa berenti ngomongin Anya. Aku selalu ngomongin Anya sampe akhirnya muka Ndut yang imut itu cemberut dan jadi semakin ngegemesin. Mengasyikkan sekali membuat dia seperti itu.
Oh ya! Ndut itu panggilanku ke Puput. Cuma aku yang boleh panggil Ndut ke dia. Awas aja kalo ada yang panggil dia kaya’ gitu. Termasuk juga Saef sama Anya. Panggilan Ndut buat Puput yang mungil dan nggak gendut itu, Cuma dari aku buat dia. Aku inget, dulu Saef pernah tanya gini, “Emangnya kenapa sih? Terserah dong, Puput pingin dipanggil apa sama siapa. Emangnya udah dipatenkan bahwa nama Ndut buat Puput Cuma panggilanmu ke dia?” Aku bingung mau jawab apa waktu itu. Jadinya, aku malah Cuma perang ngotot sama Saef tentang hak paten itu. Sampe Anya dateng dan tanpa peringatan bilang, “Udah, Sa, ngalah aja. Itu panggilan cintanya Dana buat Puput. Makanya nggak boleh diganggu gugat.” Anya tertawa setelah mengatakan hal itu. Dan aku segera mengelak. Aku nggak tau apa mukaku memerah. Tapi, rasanya panas aja.
“Aku Cuma mau jailin dia!” Dan setelah kupikir lagi. Sepertinya itu kata-kata bodoh, ya? Apa benar itu panggilan cintaku buat Puput?

Baru beberapa menit yang lalu aku bergabung dengan Dana dan Saef. Yah, karena sepulang sekolah tadi, aku dipanggil pustakawan sekolah. Beliau minta aku bantu-bantu selama class meeting. “Banyak anak yang ingin meminjam dan mengembalikan buku. Saya kekurangan orang. Kamu mau membantu?” gitu kata beliau tadi.
Aku belum bilang setuju, sih. Soalnya, kami berempat punya acara seru setiap class meeting. Memang Cuma di kelas. Memang Cuma berempat. Tapi bagiku, seru sekali. Sayangnya pembicaraan kali ini tidak seseru acara class meeting kami.

“Iya, ternyata Anya bakal ikut lomba paduan suara tingkat provinsi, lho.” Kata Dana untuk yang kesekian kalinya selama beberapa menit aku di sini. Aku melihat jam tanganku. Baru tujuh menit yang lalu aku sampai di sini. Tapi dia sudah berkali-kali mengatakan hal itu.
“10 kali.” Kata Saef yang terlihat bosan.
“Apanya?” tanya Dana yang ternyata ga nyadar. Aku hampir menjelaskan dengan nada Z saat Saef mulai berbicara dengan nada bosan. “Kamu udah bilang hal itu 10 kali hari ini.” Kata Saef.
Bagus. Aku jadi bisa menghemat energiku. Aku harus menahan diri untuk tidak berteriak di muka Dana.

“Oke.” Dana terduduk diam. Dia sepertinya mulai kehabisan ide untuk berbicara. Aku masih menatapnya ketika bibirnya bergerak untuk berbicara lagi “Eh, kemaren aku leat Anya joging. Hebat banget, ya? Masa’ dia joging dari rumahnya sampe rumahku. Berapa kilo tuh?” tanyanya dengan mata bersinar-sinar. Uh! Sebal!
“Hai, guys.” O.. tuan puteri datang. “Udah lama, nih?” Anya duduk di hadapanku, di sebelah Dana. Ah. Aku kan, nggak seharusnya marah sama Anya.
“Baru, kok, Nya.” Aku mengatakannya dengan senyuman yang agak dipaksakan. Mudah-mudahan nggak terlihat begitu. Anya tersenyum menatapku.

“Kita bisa ngobrol dulu, nih. Supirku masih agak lama.” Kata Anya lagi. Dia menatap Saef dan Dana bergantian.
“Class meeting ini kita mau ngapain, nih?” Saef mengaduk es jeruknya pelan.
Let it flow aja, lah.” Anya berdiri dan berjalan ke arah bu Broto untuk memesan semangkuk mie ayam dan teh hangat. “Kaya’ class meeting yang lalu, kan jalan sendiri.” Tambah Anya setelah kembali ke tempat duduknya.
“Tapi aku pingin bukan Cuma kita yang nikmatin acara kita. Kita buat acara kelas, yuk.” Kali ini Saef tampak sedikit ngotot. Mungkin dia memang punya ide yang bagus untuk acara kali ini.

“Bener kata Anya, Sa. Let it flow aja. Kita kan ga punya cukup waktu sama duit buat ngadain acara kaya’ gitu.” Aku mencibir kata-kata Dana dalam hati. Cari muka.
“Emang apa sih, idenya?” Anya berusaha mendengarkan pendapat Saef dulu. Yah, masa’ mau gitu aja ditolak? Paling nggak, didengerin dulu, kan?
“Belum ada ide yang menarik, sih.” Aku Saef. Dia menggaruk belakang telinganya, tanda bahwa dia merasa malu. Anya tersenyum manis.
“Kalo gitu, kita pikirin dulu aja acaranya. Nanti kita diskusiin lagi sama Nur Cholik, pak ketua kelas.”

“Oke.” Saef menyerah. Dana nggak melepas pandangannya dari Anya. Cowok.
“Abis Class meeting, kan libur.” Kata Dana saat suasana sedang hening-heningnya. Nggak nyambung sama pembicaraan tadi, deh. “Kamu mau ke mana, Nya?”
Oh.. itu, maksudnya.
“Paling ke Jakarta, kaya’ biasanya. Tumben nih, nanya-nanya. Biasanya kamu cuek aja aku mau ke mana.” Jawab Anya sambil tertawa. Anya bercanda ngomong gitu. Aku melihatnya dari raut wajahnya. Tapi sepertinya Dana serius. Dia terlihat salah tingkah saat Anya mengatakan hal tadi. Bola matanya bergerak ke kiri dari tadi.

“Ah, Anya, kaya’ nggak tau aja.” Kata Saef tertawa.

“Kenapa?” tanya Anya nggak paham. Aku melipat kedua tanganku di dada.
“Dana kan, suka kamu.” Kataku dengan enteng. Aku nggak mau mengakuinya. Tapi memang begitu kenyataannya.

“Ndut!” Dana terkejut mendengar pernyataanku.
“Lho? Iya, kan?” tantangku. “Sebentar, sebentar. Aku inget dulu. Apa ada yang kurang ya?” aku berpose seperti sedang berpikir.
“Ah, Iya!” aku menatap mata Dana dalam-dalam. “Dana cinta mati sama Anya.” Kataku sinis. Entah kenapa, aku bener-bener marah.
“Puput!” kali ini dia nggak memanggilku dengan panggilan khususnya. Aku tau, dia marah. Tapi itu membuatku tambah ingin membuatnya marah.

“Kenapa?!” balasku berteriak. “Bener, kan?! Udah deh, nggak usah disembunyiin. Daripada Anya jadian sama cowok lain!”
Aku menatap Saef dan Anya. “Aku pulang sendiri.” Kataku pada mereka. Aku mengambil tasku dan berjalan cepat meninggalkan mereka. Aku ingin menangis. Tapi bukan di sini. Tentu saja bukan di sini.

Aku terkejut mendengar Ndut berbicara seperti itu. Hatiku tertusuk saat dia berteriak padaku tentang Anya. Kenapa hal tentang Anya membuat Ndut marah? Tanpa sadar aku mengejar Ndut ke gerbang.
“Hei! Kamu kenapa sih, Ndut.” Aku menarik lengannya agak keras. Ndut berhenti berjalan. Wajahnya tertunduk.
“Kamu kenapa?” ulangku lagi. “Aku perhatiin kamu jadi sering marah.” Ndut terdiam. Tapi itu hanya sebentar. Dia mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata.
“Sejak kapan kamu merhatiin aku?!” tanyanya keras. Kata-kata itu menusuk hatiku lagi. “Kamu nggak tau apa pun tentang aku. Aku benci kamu!” Tambahnya. “Lepas!!” Ndut berontak.
Aku melepaskan tangannya.
Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa hatiku sesakit ini melihat dia menangis?
Aku kembali ke kantin dengan hati linglung. Aku benar-benar merasa hampa.
“Puput baik aja, kan?” tanya Anya khawatir.
Aku menggeleng. “Dia menangis.”
“Dia cemburu.” Kata Saef.
“Cemburu?” ulangku heran. “Cuma teman, kan? Kenapa cemburu?” tanyaku lagi.
“Dia suka kamu, Dana bodoh!” Saef mendorong kepalaku pelan.

“Suka?” ulangku.

“Dan sepertinya Dana juga suka dia ya, Ef?” kali ini Anya yang berbicara dengan senyum mengulum di bibirnya.
“Aku suka dia?” ulangku. “Jangan bercanda.” Aku tertawa garing memikirkannya. Nggak mungkin aku suka dia.

“Dana..” Anya memanggilku lembut.

“Kamu nggak boleh membohongi hatimu lho.” Katanya sambil tersenyum. “Kamu nggak boleh melepaskannya gitu aja, kan?” tambah Anya lagi.
“Dia sakit.” Saef berkata pada Anya sambil menunjukku. Aku sakit? Hah! Nggak mungkin.
“Sakit cinta?” Anya tertawa. Apa ini sesuatu yang lucu? Apa eharusnya aku ikut tertawa? Ha ha ha

“Jemputanku dateng. Yuk, pulang.” Anya beranjak dari bangkunya diikuti Saef dan aku.

“Cepatlah sadar, kawan. Kamu nggak punya banyak waktu.” Saef merangkulku sambil mengatakan hal itu.


Udah seminggu ini aku menghindari semuanya. Anya, Saef, juga Dana. Aku nggak mau ada di dekat mereka. Nggak, sebelum hatiku sembuh. Hatiku sakit. Sakit setelah Dana membentakku sedemikian rupa. Aku nggak mau mengingat cintaku padanya lagi. Cukup!
Untung aku diberi banyak tugas oleh pak pustakawan. Aku menyibukkan diri di perpustakaan sekolah setiap hari. Sejak berangkat sampai semua pulang. Aku melewatkan acara class meeting yang seru di sekolahku. Aku juga meninggalkan acara class meeting bersama teman sekelas yang sangat kunantikan sejak dulu. Aku memandang langit di sela acara menata buku.
“Kamu ingin bergabung dengan temanmu?” tanya pak Syahrir, pustakawan sekolahku.
“Nggak, Pak. Saya ingin di sini.” Jawabku setengah berbohong. Aku memang ingin menjauh dari teman-temanku. Walau sepertinya, sedikit hatiku ingin berada di sana.

“Jangan memaksakan diri ya?” kata beliau bijak. “Kamu boleh istirahat kapanpun kamu mau. Kamu sudah bekerja keras.”
Aku tersenyum. “Baik, Pak. Tapi saya masih ingin di sini.”
“Terserah kamu.” Pak Syahrir membalas senyumku. “Oh ya, nanti akan ada yang membantu kamu di sini.” Yang ini membuatku terkejut. Sejak kapan anak-anak sekolahku lebih tertarik membantu di perpustakaan daripada ikut class meeting?
“Siapa, Pak?” tanyaku penasaran.
“Bapak lupa namanya. Tapi sepertinya sekelas dengan kamu.”
Aku tambah penasaran dengan anak itu. Ada ya, anak yang mau melepaskan kesempatan ngeliat temen-temennya baca puisi dan nyanyi di depan kelas? Aku pingin tau.

“Permisi, Pak.” Suara di depan menyadarkan kami adanya tamu.
“Mungkin itu.” Pak Syahrir berjalan dengan penuh wibawa menyambut tamunya. Aku nggak mendengar apa yang dibicarakan oleh mereka. Tapi sepertinya Pak Syahrir udah nggak ada di perpustakaan lagi. Jelas sekali dari suara motor beliau yang menjauhi halaman parkir di samping perpustakaan.

“Ada yang perlu dibantu?” tanya ‘teman’ku itu. Aku menoleh dan terkejut melihat yang berdiri di depanku. Dana. Aku segera membuang muka dan menyibukkan diri menata buku lagi.
“Ndut.” Panggilnya lembut. “Kamu masih marah?” tanyanya.

“Nggak.” Jawabku ketus. Emangnya nggak keliatan ya, kalo aku marah?
“Hei. Aku mau bicara.” Dana menarik tanganku dan mengangkatnya ke depan dadanya.

“Nggak usah pegang-pegang. Kalo mau bicara ya bicara aja. Ini negara bebas, kok.” Aku bersikap ketus lagi. Padahal jantungku berdetak sangat kencang dan mukaku terasa panas.
“Aku menyesal membuat kamu marah.” Katanya dengan nada bersalah. “Maafin aku, ya?” pintanya.
“Hmmph..” jawabku setengah hati. “Jangan gitu, dong, Ndut.” Desak Dana lagi.
“Suka-suka aku.” Heran. Aku nggak bisa menghentikan nada ketus ini. “Kamu juga nggak rugi, kok, aku kaya’ gini.”
“Rugi, dong.” Sahutnya tiba-tiba dengan polos.
“Rugi?” kataku dengan nada meremehkan. Nggak mungkin banget, kan? Masa’ gitu aja buat dia rugi?

“Iya. Rugi.” Ulangnya. “Kalau kamu marah terus kaya’ gitu, kapan aku bisa bilang I love you?”
Aku makin sewot. “Terserah aja kapan kamu mau bilang
I..” aku tersadar “..love you?”
“Yupz! Dana love Ndut.” Katanya mantap dengan senyum terkembang.
“Hah?” aku menatapnya nggak percaya. “So.” Katanya enteng. “Would you be my ‘Ndut’?”
“Jangan bercanda!” aku memukul dadanya sebal. Bercanda lagi. Aku hampir berjalan menjauhinya ketika dia menggenggam kedua tanganku.

“Ndut!”
Dana memandang kedua mataku. “Aku nggak bercanda! Kamu mau nggak jadi cewekku?” tanyanya lagi.
“Kamu suka Anya.” Kataku getir. “Itu menurutmu, kan? Hatiku bilang aku suka kamu.” Dana masih menggenggam erat tanganku.
I’m not kidding!” katanya putus asa.
Aku tersenyum melihat kepastian di matanya yang sedikit berhias putus asa. Sepertinya, ini waktuku untuk mengatakannya. Tapi ini rahasia. Ini Cuma untuk aku dan Dana. (^ . -)

-the End-

photo2

me n my best friend
me n my friends


-






















anak-anak kelasku yang nyebelin tapi amat ngangenin..
luv u all guys...

hello world!!

hello world!!
akhirnya blog juja niey..
hwehehehe...
smoga blog ini tetep hidup de, ya...
bantuin menghidupkannya juja ya, semuanya...
hwehehehe...