...
"Hei, kalian ngapain masih di sini? orang-orang pada di depan tuh,. udah mulai acaranya,." Anggi muncul di depan kami: aku, Akbar, dan Rian yang sedang ngobrol seru. Ah, aku tak tau, sepertinya seru. Setelah aku pikir-pikir lagi, aku hanya mendengar dua lelaki itu ngobrol. Bukan aku tidak mengerti, aku hanya menikmati suara mereka. Terutama dia..
"Asik di sini. Hahahaha.." Rian mengangkat gelasnya yang berisi es jeruk. "Dapet gratisan dari Akbar nih, Nggi."
"Ah.. kalian ini." Anggi menggeleng-gelengkan kepalanya dan ikut duduk dihadapan Akbar, di samping Rian. Aku tersenyum. Aku kira dia akan menarik kami ke depan untuk berpartisipasi.
"Segitu senengnya, Ras?" Akbar mengacak lembut rambutku.
Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum lebih lebar lagi, "Sama kalian gak pernah membosankan."
Anggi dan Rian berpandangan lalu tertawa dan ikut mengacak rambutku kemudian mulai heboh membicarakan sesuatu.
Akbar melingkarkan tangannya dipundakku "Kabur yuk." ajak Akbar di telingaku. Aku menatapnya tak percaya. Yah,. aku 'anak baik' yang gak pernah membolos. Sedangkan Akbar dimasukkan guru-guru dalam list 'anak nakal' yang sering membolos pelajaran dengan banyak alasan. Kami memang teman main, tapi dia gak pernah mengajakku membolos sebelum ini.
"Kenakalan pertama dan terakhir?" aku terseyum lebar.
"Ya, kamu. Aku sih..." Akbar menggantung kalimatnya. Anggi dan Rian masih berdebat. Kantin ini memang sepi. Satu-satunya jalan keluar adalah gerbang depan. Kabur berarti melewati kolam manusia yang sedang bersuka ria atas berakhirnya semester ini.
Pandanganku kembali pada Anggi. Aku tahu perasaannya pada Akbar. Dia mencintainya, itu yang pernah dia akui padaku. Yang aku tidak tau adalah perasaan Akbar. Dan juga perasaanku padanya. Ah, ya,. aku bohong, aku menyukainya, namun aku tak pernah sanggup mengakuinya.
"Hei, ayo,. mau gak?" Akbar menyadarkanku dari renunganku.
"Ummm,.." aku ragu-ragu. Senyumku hilang. Aku gak mau Anggi cemburu. Dia temanku. Hah, alasan apa ini? Aku memukul kepalaku.
"Baiklah,." Akbar tiba-tiba berkata seperti itu. "Aduh, aku bukannya gak mau." Ingin aku bilang begitu. Tapi aku hanya dapat menunjukkan wajah kecewa.
Akbar berdiri. Kekecewaanku bertambah. Bodohnya aku, aku harusnya mengiyakan.
Tiba-tiba aku merasakan badanku tertarik dari kursi. Akbar memegang lenganku. Kursiku terguling dan menimbulkan suara berisik. Anggi dan Rian menoleh ke arah kami, aku merasakan pandangan orang-orang tertuju padaku. Aku tak tahu, tapi sepertinya mukaku memerah.
"Akb..." suaraku terpotong kalimat Akbar yang membuatku sesak. "Raras aku culik yak?" Dia tersenyum dan merangkulku pergi.
Aku tak dapat berkata-kata, mengikuti langkahnya menuju kolam manusia di depan sana. Di depan pintu kantin kakiku enggan melangkah dan wajahku mendongak, menatap mata Akbar meminta penjelasan.
"Kencan, kencan,. Ini bukan bolos kok." Dia tersenyum. Senyum yang selalu aku suka. Aku balas tersenyum. Dia selalu menenangkan aku, memenangkan aku.
Aku menurut saat dia merangkulku melewati kolam manusia. Aku bersembunyi dengannya dari guru pengawas. Aku mengendap-endap dengannya dari wali murid yang menjadi tamu undangan. Aku berlari dengan tanganku dalam genggamannya saat kami ketahuan dan dikejar pengawas. Berlari melewati pengawas sekolah, berlari menyebrangi lapangan sekolah, dan mengerjai satpam untuk dapat keluar gerbang.
Aku merasa bebas dari entah apa yang membelengguku. Aku tertawa lepas dengan muka merona merah.
Kami masih berlari menyusuri trotoar, menjauh dari sekolah. Aku menyukaimu, Bar. Aku sangaat menyukaimu. Kata hatiku sambil menatap punggungnya.
Kami berhenti berlari setelah cukup jauh dari sekolah. Menjatuhkan diri di sebuah tanah kosong. Kami berdua terngengah-engah, terutama aku. Kami berdua bertatapan dan tertawa.
"Asik?" tanya Akbar padaku yang berantakan. Ah, pasti aku berantakan sekali. Tapi sekali ini aku tak ingin peduli. "Asik." jawabku singkat.
"Yok, jalan. Sekarang kita memasuki babak utama rencana kita." Dia mengulurkan tangannya, menolongku berdiri. Sungguh senyumku tak dapat hilang.
"Kita kemana?" tanyaku.
"Kamu mau kemana?" tanya Akbar balik. Dia mengeluarkan topi dari tasnya. Aku ingat itu topi yang aku berikan secara anonim saat dia ulang tahun di kelas satu.
"Aku gak tau. Aku gak pernah bolos." jawabku polos. "Aku kan gak kaya kamu yang gaul." Aku tertawa menyadari kata-kataku itu.
"Hei, ini bukan bolos, Ras. Ini kencan." Kata Akbar tidak terima. Dia mengeluarkan sebuah topi lagi dari tasnya, berwarna biru muda-pink, dan memakaikannya di kepalaku. "Biar kamu gak kepanasan." Senyum itu muncul lagi. Akbar berjalan di depanku. "Gantinya topi ini." tambahnya sambil menunjuk topi yang dikenakannya.
Aku tersenyum, dia ternyata tau. Sejak kapan? Aku gak bisa menahan diri lagi. Aku berlari ke arah Akbar dan mememeluk tangannya, berjalan di sampingnya. "Yah, apa boleh buat kalo kamu segitu pinginnya kencan sama aku." kataku. Akbar membalasnya dengan memegang kepalaku sekilas. Ah, aku merasa dia tersenyum lagi.
Jumat, 17 Februari 2012
Bolos? ini Kencan ^^
Diposting oleh snaily di 00.14
Label: short story
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar