“Jadi anak kelas 6 SD itu menyebalkan! Banyak banget tugas yang dikasih guru-guru ke kita. Tugasnya rumit lagi! Harusnya guru-guru gag kasih tugas banyak-banyak, kan bentar lagi mau ujian. Gimana belajarnya kalo setiap hari di kasih tugas seabrek gini??” Vina mengomel kecil sepanjang perjalanannya ke tempat Enggar bersama teman-temannya untuk belajar kelompok.
“Baru semester 1 kali, Vi.” Kata Enggar sambil tersenyum.
“Dikasih tugas aja kamu gag belajar, Vi,”tambah Rizky dengan isengnya menarik rambut Vina yang terikat rapi. “Kalo gag dikasih tugas, kamu bisa gag lulus nanti.”
Vina cemberut mendengar kata-kata Rizky itu. “Aku belajar tau!”
“Gag percaya aku.” Rizky mengolok Vina. “Kamu kan tiap hari main.”
“Belajar!” bantah Vina.
“Main!” sahut Rizky gag mau kalah.
“Aku belajar!!!” Vina mengulanginya lagi.
“Vina main mulu!” Rizky menjulurkan lidahnya.
“Ugfhh…” Vina berlari mengejar Rizky yang cepet-cepet kabur sambil tertawa penuh kemenangan ketika menyadari air muka Vina yang sepet.
“Vi, pulang kapan? Aku pulang sekarang. Udah sore.” Rizky membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja makan rumah Enggar.
“Yang lainnya kapan?” Vina mengedarkan pandangannya ke arah teman-temannya yang lain.
Muslih terlihat membereskan alat tulisnya. Neni bahkan udah memakai sepatunya.
“Ikut kamu deh.” Kata Vina ke Rizky tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya. Vina membereskan buku-bukunya, memasukkan semua ke dalam tasnya dan memakai sepatunya.
Rizky, Muslih dan Neni udah menunggunya di luar rumah Enggar.
“Makasih ya, Nggar.” Kata mereka bersamaan.
“Yok! Besok belajar bareng lagi ya!” jawab Enggar dengan semangat.
“Oke!” jawab Vina, yang lain hanya tersenyum.
Vina, Rizky, Muslih dan Neni berjalan bersama keluar kompleks rumah Enggar. Setelah itu mereka berpisah di pintu kompleks, Neni dan Muslih ke arah timur, Vina dan Rizky ke arah barat.
“Jalan ya, Ky?” pinta Vina gag lama setelah mereka melewati gerbang kompleks rumah Enggar.
“Bis aja deh, mau ujan.” Jawab Rizky.
“Jalan aja, Ky. Sekalian olah raga. Ya?” pinta Vina lagi.
“Nih, ya, kalo jalan, ntar keringetan, capek. Bis, oke?” Rizky gag mau kalah.
“Jalan, Ky.”
“Bis!”
“Jalan!”
“Bis!”
“Huh! Cowok kok loyo banget! Sini rumah Cuma 2 kilometer kok!” Vina berkata dengan sinis.
“Siapa yang loyo? Aku tu mikirin kamu tau! Ntar kamu ngeluh! Bilang capek! Bilang keringetan!” Rizky gag terima dikata-katain Vina kaya’ gitu.
“Bilang aja kalo kamu yang takut capek, takut keringetan.” Vina masih sinis.
“Ya udah! Jalan! Puas kamu?! Jangan ngeluh ya!” Rizky berjalan cepat di depan Vina. Vina tertawa dalam hati, “Yes! Menang!”
“Cepet! Mau ditinggal?!” bentak Rizky.
“Iya, iya, sewot amat!” Vina berlari menyusul Rizky.
Sepanjang perjalanan mereka, Rizky hanya diam. Mungkin marah dengan ejekan Vina tadi. Sementara itu, Vina sama sekali keberatan untuk memulai pembicaraan. Tiba-tiba hujan turun. Awalnya hanya gerimis. Rizky dan Vina semakin cepat berjalan membelah hujan. Tapi lama kelamaan, hujan menjadi semakin deras. Rizky menepi. Dia berteduh di sebuah emperan toko kelontong. Vina menyusulnya.
“Bawa payung gag kamu?” Tanya Rizky setelah sekian lama mereka diam. Vina menjawabnya dengan gelengan pelan.
“Cewek kok gag bawa payung sih?” Rizky menggerutu.
“Emangnya ada kewajiban bawa payung buat anak cewek?” balas Vina.
“Biasanya tu cewek bawa payung ke sekolah! Cuma kamu yang gag. Cewek males! Pantes aja gag ada cowok yang mau ama kamu. Kamu males sih! Kasian nanti yang jadi cowokmu.” Rizky tampaknya mulai kumat jailnya. Terlihat sekali banyak ejekan yang terlontar dari bibirnya. Vina gag menjawabnya.
“Tumben diem, cewek males! Mengakui kekuranganmu?” Rizky senang karena Vina gag bisa membalas kata-katanya. Dia menoleh, ingin melihat wajah Vina yang cemberut karena gag tau harus ngomong apa. Tapi ternyata, yang Rizky temukan adalah seorang cewek lemah yang terlihat kedinginan. Bukan cewek yang cemberut karena kesal.
“Kenapa, Vi?” Rizky jadi khawatir. Gimanapun juga, Vina pulang sama dia. Jadi kalo ada apa-apa ya dia yang bakal ditanyain.
“Kedinginan?” Rizky mendekati Vina yang berjongkok sambil memeluk tasnya erat.
“Tuh, kan! Aku bilang juga apa! Naik bis aja! Kamunya ngeyel.” Rizky jadi ngomel-ngomel. “Gimana dong, sekarang?” Tanyanya. Vina gag menjawab. Dia hanya menunduk, memeluk tasnya erat-erat.
“De,” panggil seseorang dari dalam toko itu. Rizky menoleh. “Adiknya Rian ya? Yang rumahnya di Perum BPI blok A-2?” Tanya orang itu.
“Iya.” Jawab Rizky.
“Nih, mbak pinjemin payung.” Kata orang itu sambil mengulurkan sebuah payung yang ukurannya tidak terlalu besar.
“Cukup kalo dipake sama cewekmu.” Katanya dengan tertawa.
“Mbak ni sapa sih?” Tanya Rizky. “Pacarnya mas Rian?”
“Ah, kamu bisa aja.” Orang itu tersipu malu. Rizky memandangnya dengan tatapan aneh.
“Ya udah deh, mbak. Makasih ya. Aku pinjem dulu.” Rizky segera meninggalkan mbak baik hati tapi aneh tadi dan menghampiri Vina.
“Vi, aku dapet payung nih! Pulang yuk!” ajak Rizky. Vina berdiri dengan cepat. Dia merebut payung yang dibawa Rizky dan meninggalkan berlari membelah hujan.
“Hahahahaha…” Vina tertawa. “Kena deh!”
“Vinaaaaaaaa…..” Rizky berlari mengejar Vina. “Awas kamu!!”
“Hahahahaha…”
Setelah kejadian Vina menculik payung Rizky dan Rizky mengejar payungnya, mereka berjalan bersama di bawah satu payung. Tadinya. Semuanya gag masalah sampai akhirnya, di sebuah lapangan bola, ada sekumpulan anak-anak yang menyoraki mereka, “Pacaran!! Pacaran!!”
Rizky yang risih dengan kata-kata itu berlari menjauhi Vina.
“Ky! Tungguin dong!” Vina mengejar Rizky yang mulai basah kuyup dengan air hujan. “Ky! Kamu basah banget! Ayo payungan!”
“Gag usah! Kamu aja!” Rizky mempercepat jalannya.
“Ky!!” Vina memanggil Rizky lagi. Yang dipanggil menyeberangi batu-batu di sungai dengan lincah dan sampai di seberang sungai dengan selamat.
“Auh!” sayangnya Vina gag selincah Rizky. Dia terpeleset dan jatuh ke dalam sungai. Vina gag segera bangkit berdiri. Dia menatap Rizky yang udah mau jalan lagi.
“Ky…” Panggil Vina meminta tolong.
Rizky yang udah setengah jalan menaiki tangga yang dibuat dari tanah berhenti. Dia memandang Vina yang terduduk di tengah sungai. Basah kuyup seperti dirinya.
Rizky berdecak kesal. Dia kembali turun dan menolong Vina bangun sambil menggerutu. “Ngerepotin banget sih, kamu.”
“Maaf.” Kata Vina dengan wajah menyesal.
“Jangan bilang kalo kakimu keseleo.” Kata Rizky dengan kesal. Vina tersenyum meminta maaf.
“Hih! Kamu tuh jadi cewek udah males, ngerepotin aja bisanya!” Rizky mengomel. Gag Cuma itu, masih panjang omelannya. Tapi tetap saja Rizky menolong Vina berjalan. Dia memapah Vina sampai ke rumah Rizky karena rumah Rizky yang lebih dekat.
“Kok kaya’nya kamu demam ya, Vi?” Tanya Rizky saat mendudukkan Vina di teras rumahnya. Vina hanya tersenyum.
“Mau pulang gimana?” Tanya Rizky lagi.
“Jalan. Gimana lagi?” Tanya Vina.
“Mau sampe rumah kapan, kamu? Kaki keseleo gitu juga.” Rizky mengomel lagi. “Aku minta kakakku nganter kamu deh.” Rizky masuk ke dalam rumah, mencari kakaknya. Vina tersenyum.
“Rizky emang jail banget. Tapi selalu perhatian sama orang lain.” Vina meneliti kulit tangannya yang berbentol-bentol merah. Alerginya kumat!
Vina duduk di pinggir lapangan, memerhatikan teman-temannya yang berolahraga dengan gembira. Setengah hatinya menyesal karena tidak dapat berlari bersama teman-temannya. Setengah hatinya yang lain menikmati kebebasan sementaranya ini.
Sebuah bola menggelinding ke dekat Vina. Seseorang ikut menghampirinya.
“Ngapain gag ikut olah raga nona malas?” Tanya orang itu dengan nada mengejek.
“Hari ini aku jadi Puteri. Puteri gag ikut olah raga. Dia Cuma memerhatikan dengan anggun.” Vina menjulurkan lidahnya ke orang itu.
“Huuu.. Puteri apaan? Puteri Malas? Masa’ Puteri melet sih? Mana anggunnya?” orang itu duduk di sebelah Vina, mengelap keringat yang membanjiri wajahnya dengan lengan bajunya.
“Ugh! Biarin aja.” Vina memalingkan wajahnya dari pendatang itu.
“Masih sakit ya, yang kemarin?” Vina agak terkejut dengan pertanyaan tak terduga itu.
“Cuma gag boleh capek.” Jawab Vina singkat. “Udah ditungguin tuh, bolanya.” Vina menunjuk teman-temannya yang memanggil-manggil nama orang di sebelahnya itu.
“Yo!” orang di sebelahnya melambaikan tangannya ke teman-teman yang memanggilnya. Dia berdiri, menjitak pelan kepala Vina sambil berkata, “Cepet sembuh!” lalu berlari menghampiri teman-temannya yang lain. Meninggalkan Vina yang wajahnya memerah karena malu.
“Rizky nyebelin.” Kata Vina dalam hati.
to be continued..
1 komentar:
another short story made by me!!^^
yah...
cerita ini terinspirasi dari postingku sebelum ini...
aduh...
jadi ketauan dehhh...
hahaha..
pokoknya jangan lupa commentnya yaaa...
tunggu lanjutannya juga!!
mungkin bulan depan??
heehehehe..
maklum,
orang sibukk...
thnx yaaa^^
Posting Komentar