Aku, Anya, Dana ama Saef udah deket sejak kami duduk depan-belakang di kelas 1 SMA. Udah sejak itu juga aku memiliki perasaan yang berbeda buat Dana. Nggak ada yang tau perasaan itu. Aku selalu yakin kalau aku bisa menyembunyikan perasaanku dengan sangat teliti. Yah, memang menyakitkan. Orang yang aku sukai berada tepat di belakangku. Tapi dia nggak tau perasaanku padanya. Nggak boleh tau. Dana nggak boleh tau. Karena perasaan yang aku punya Cuma bisa membebaninya.
Kenapa ya, aku bisa seyakin ini bisa membebaninya? Apa mungkin karena aku selalu melihat dia menatap Anya? Atau karena setiap aku, Dana dan Saef membicarakan Anya, Dana selalu menyanjung Anya? Yang mana pun membuat aku kesal. Mungkin itu yang namanya cemburu? Ha ha. Aku cemburu. Tapi, kalau memang Dana hanya ingin Anya, aku akan mundur. Biarlah sakit ini hanya aku yang memiliki. Cukup aku.
Ah, kok Anya mulu ya? Yah, mau gimana lagi. Kalo udah ada di depan Ndut, aku ga bisa berenti ngomongin Anya. Aku selalu ngomongin Anya sampe akhirnya muka Ndut yang imut itu cemberut dan jadi semakin ngegemesin. Mengasyikkan sekali membuat dia seperti itu.
Oh ya! Ndut itu panggilanku ke Puput. Cuma aku yang boleh panggil Ndut ke dia. Awas aja kalo ada yang panggil dia kaya’ gitu. Termasuk juga Saef sama Anya. Panggilan Ndut buat Puput yang mungil dan nggak gendut itu, Cuma dari aku buat dia. Aku inget, dulu Saef pernah tanya gini, “Emangnya kenapa sih? Terserah dong, Puput pingin dipanggil apa sama siapa. Emangnya udah dipatenkan bahwa nama Ndut buat Puput Cuma panggilanmu ke dia?” Aku bingung mau jawab apa waktu itu. Jadinya, aku malah Cuma perang ngotot sama Saef tentang hak paten itu. Sampe Anya dateng dan tanpa peringatan bilang, “Udah, Sa, ngalah aja. Itu panggilan cintanya Dana buat Puput. Makanya nggak boleh diganggu gugat.” Anya tertawa setelah mengatakan hal itu. Dan aku segera mengelak. Aku nggak tau apa mukaku memerah. Tapi, rasanya panas aja.
“Aku Cuma mau jailin dia!” Dan setelah kupikir lagi. Sepertinya itu kata-kata bodoh, ya? Apa benar itu panggilan cintaku buat Puput?
Aku belum bilang setuju, sih. Soalnya, kami berempat punya acara seru setiap class meeting. Memang Cuma di kelas. Memang Cuma berempat. Tapi bagiku, seru sekali. Sayangnya pembicaraan kali ini tidak seseru acara class meeting kami.
“Iya, ternyata Anya bakal ikut lomba paduan suara tingkat provinsi, lho.” Kata Dana untuk yang kesekian kalinya selama beberapa menit aku di sini. Aku melihat jam tanganku. Baru tujuh menit yang lalu aku sampai di sini. Tapi dia sudah berkali-kali mengatakan hal itu.
“10 kali.” Kata Saef yang terlihat bosan.
“Apanya?” tanya Dana yang ternyata ga nyadar. Aku hampir menjelaskan dengan nada Z saat Saef mulai berbicara dengan nada bosan. “Kamu udah bilang hal itu 10 kali hari ini.” Kata Saef.
Bagus. Aku jadi bisa menghemat energiku. Aku harus menahan diri untuk tidak berteriak di muka Dana.
“Oke.” Dana terduduk diam. Dia sepertinya mulai kehabisan ide untuk berbicara. Aku masih menatapnya ketika bibirnya bergerak untuk berbicara lagi “Eh, kemaren aku leat Anya joging. Hebat banget, ya? Masa’ dia joging dari rumahnya sampe rumahku. Berapa kilo tuh?” tanyanya dengan mata bersinar-sinar. Uh! Sebal!
“Hai, guys.” O.. tuan puteri datang. “Udah lama, nih?” Anya duduk di hadapanku, di sebelah Dana. Ah. Aku kan, nggak seharusnya marah sama Anya.
“Baru, kok, Nya.” Aku mengatakannya dengan senyuman yang agak dipaksakan. Mudah-mudahan nggak terlihat begitu. Anya tersenyum menatapku.
“Kita bisa ngobrol dulu, nih. Supirku masih agak lama.” Kata Anya lagi. Dia menatap Saef dan Dana bergantian.
“Class meeting ini kita mau ngapain, nih?” Saef mengaduk es jeruknya pelan.
“Let it flow aja, lah.” Anya berdiri dan berjalan ke arah bu Broto untuk memesan semangkuk mie ayam dan teh hangat. “Kaya’ class meeting yang lalu, kan jalan sendiri.” Tambah Anya setelah kembali ke tempat duduknya.
“Tapi aku pingin bukan Cuma kita yang nikmatin acara kita. Kita buat acara kelas, yuk.” Kali ini Saef tampak sedikit ngotot. Mungkin dia memang punya ide yang bagus untuk acara kali ini.
“Bener kata Anya, Sa. Let it flow aja. Kita kan ga punya cukup waktu sama duit buat ngadain acara kaya’ gitu.” Aku mencibir kata-kata Dana dalam hati. Cari muka.
“Emang apa sih, idenya?” Anya berusaha mendengarkan pendapat Saef dulu. Yah, masa’ mau gitu aja ditolak? Paling nggak, didengerin dulu, kan?
“Belum ada ide yang menarik, sih.” Aku Saef. Dia menggaruk belakang telinganya, tanda bahwa dia merasa malu. Anya tersenyum manis.
“Kalo gitu, kita pikirin dulu aja acaranya. Nanti kita diskusiin lagi sama Nur Cholik, pak ketua kelas.”
“Oke.” Saef menyerah. Dana nggak melepas pandangannya dari Anya. Cowok.
“Abis Class meeting, kan libur.” Kata Dana saat suasana sedang hening-heningnya. Nggak nyambung sama pembicaraan tadi, deh. “Kamu mau ke mana, Nya?” Oh.. itu, maksudnya.
“Paling ke Jakarta, kaya’ biasanya. Tumben nih, nanya-nanya. Biasanya kamu cuek aja aku mau ke mana.” Jawab Anya sambil tertawa. Anya bercanda ngomong gitu. Aku melihatnya dari raut wajahnya. Tapi sepertinya Dana serius. Dia terlihat salah tingkah saat Anya mengatakan hal tadi. Bola matanya bergerak ke kiri dari tadi.
“Ah, Anya, kaya’ nggak tau aja.” Kata Saef tertawa.
“Kenapa?” tanya Anya nggak paham. Aku melipat kedua tanganku di dada.
“Dana kan, suka kamu.” Kataku dengan enteng. Aku nggak mau mengakuinya. Tapi memang begitu kenyataannya.
“Ndut!” Dana terkejut mendengar pernyataanku.
“Lho? Iya, kan?” tantangku. “Sebentar, sebentar. Aku inget dulu. Apa ada yang kurang ya?” aku berpose seperti sedang berpikir. “Ah, Iya!” aku menatap mata Dana dalam-dalam. “Dana cinta mati sama Anya.” Kataku sinis. Entah kenapa, aku bener-bener marah.
“Puput!” kali ini dia nggak memanggilku dengan panggilan khususnya. Aku tau, dia marah. Tapi itu membuatku tambah ingin membuatnya marah.
“Kenapa?!” balasku berteriak. “Bener, kan?! Udah deh, nggak usah disembunyiin. Daripada Anya jadian sama cowok lain!” Aku menatap Saef dan Anya. “Aku pulang sendiri.” Kataku pada mereka. Aku mengambil tasku dan berjalan cepat meninggalkan mereka. Aku ingin menangis. Tapi bukan di sini. Tentu saja bukan di sini.
“Hei! Kamu kenapa sih, Ndut.” Aku menarik lengannya agak keras. Ndut berhenti berjalan. Wajahnya tertunduk.
“Kamu kenapa?” ulangku lagi. “Aku perhatiin kamu jadi sering marah.” Ndut terdiam. Tapi itu hanya sebentar. Dia mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata.
“Sejak kapan kamu merhatiin aku?!” tanyanya keras. Kata-kata itu menusuk hatiku lagi. “Kamu nggak tau apa pun tentang aku. Aku benci kamu!” Tambahnya. “Lepas!!” Ndut berontak.
Aku melepaskan tangannya. Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa hatiku sesakit ini melihat dia menangis?
Aku kembali ke kantin dengan hati linglung. Aku benar-benar merasa hampa.
“Puput baik aja, kan?” tanya Anya khawatir.
Aku menggeleng. “Dia menangis.”
“Dia cemburu.” Kata Saef.
“Cemburu?” ulangku heran. “Cuma teman, kan? Kenapa cemburu?” tanyaku lagi.
“Dia suka kamu, Dana bodoh!” Saef mendorong kepalaku pelan.
“Suka?” ulangku.
“Dan sepertinya Dana juga suka dia ya, Ef?” kali ini Anya yang berbicara dengan senyum mengulum di bibirnya.
“Aku suka dia?” ulangku. “Jangan bercanda.” Aku tertawa garing memikirkannya. Nggak mungkin aku suka dia.
“Dana..” Anya memanggilku lembut.
“Kamu nggak boleh membohongi hatimu lho.” Katanya sambil tersenyum. “Kamu nggak boleh melepaskannya gitu aja, kan?” tambah Anya lagi.
“Dia sakit.” Saef berkata pada Anya sambil menunjukku. Aku sakit? Hah! Nggak mungkin.
“Sakit cinta?” Anya tertawa. Apa ini sesuatu yang lucu? Apa eharusnya aku ikut tertawa? Ha ha ha
“Jemputanku dateng. Yuk, pulang.” Anya beranjak dari bangkunya diikuti Saef dan aku.
“Cepatlah sadar, kawan. Kamu nggak punya banyak waktu.” Saef merangkulku sambil mengatakan hal itu.
Untung aku diberi banyak tugas oleh pak pustakawan. Aku menyibukkan diri di perpustakaan sekolah setiap hari. Sejak berangkat sampai semua pulang. Aku melewatkan acara class meeting yang seru di sekolahku. Aku juga meninggalkan acara class meeting bersama teman sekelas yang sangat kunantikan sejak dulu. Aku memandang langit di sela acara menata buku.
“Kamu ingin bergabung dengan temanmu?” tanya pak Syahrir, pustakawan sekolahku.
“Nggak, Pak. Saya ingin di sini.” Jawabku setengah berbohong. Aku memang ingin menjauh dari teman-temanku. Walau sepertinya, sedikit hatiku ingin berada di sana.
“Jangan memaksakan diri ya?” kata beliau bijak. “Kamu boleh istirahat kapanpun kamu mau. Kamu sudah bekerja keras.”
Aku tersenyum. “Baik, Pak. Tapi saya masih ingin di sini.”
“Terserah kamu.” Pak Syahrir membalas senyumku. “Oh ya, nanti akan ada yang membantu kamu di sini.” Yang ini membuatku terkejut. Sejak kapan anak-anak sekolahku lebih tertarik membantu di perpustakaan daripada ikut class meeting?
“Siapa, Pak?” tanyaku penasaran. “Bapak lupa namanya. Tapi sepertinya sekelas dengan kamu.”
Aku tambah penasaran dengan anak itu. Ada ya, anak yang mau melepaskan kesempatan ngeliat temen-temennya baca puisi dan nyanyi di depan kelas? Aku pingin tau.
“Permisi, Pak.” Suara di depan menyadarkan kami adanya tamu.
“Mungkin itu.” Pak Syahrir berjalan dengan penuh wibawa menyambut tamunya. Aku nggak mendengar apa yang dibicarakan oleh mereka. Tapi sepertinya Pak Syahrir udah nggak ada di perpustakaan lagi. Jelas sekali dari suara motor beliau yang menjauhi halaman parkir di samping perpustakaan.
“Ada yang perlu dibantu?” tanya ‘teman’ku itu. Aku menoleh dan terkejut melihat yang berdiri di depanku. Dana. Aku segera membuang muka dan menyibukkan diri menata buku lagi.
“Ndut.” Panggilnya lembut. “Kamu masih marah?” tanyanya.
“Nggak.” Jawabku ketus. Emangnya nggak keliatan ya, kalo aku marah?
“Hei. Aku mau bicara.” Dana menarik tanganku dan mengangkatnya ke depan dadanya.
“Nggak usah pegang-pegang. Kalo mau bicara ya bicara aja. Ini negara bebas, kok.” Aku bersikap ketus lagi. Padahal jantungku berdetak sangat kencang dan mukaku terasa panas.
“Aku menyesal membuat kamu marah.” Katanya dengan nada bersalah. “Maafin aku, ya?” pintanya.
“Hmmph..” jawabku setengah hati. “Jangan gitu, dong, Ndut.” Desak Dana lagi.
“Suka-suka aku.” Heran. Aku nggak bisa menghentikan nada ketus ini. “Kamu juga nggak rugi, kok, aku kaya’ gini.”
“Rugi, dong.” Sahutnya tiba-tiba dengan polos.
“Rugi?” kataku dengan nada meremehkan. Nggak mungkin banget, kan? Masa’ gitu aja buat dia rugi?
“Iya. Rugi.” Ulangnya. “Kalau kamu marah terus kaya’ gitu, kapan aku bisa bilang I love you?”
Aku makin sewot. “Terserah aja kapan kamu mau bilang I..” aku tersadar “..love you?”
“Yupz! Dana love Ndut.” Katanya mantap dengan senyum terkembang.
“Hah?” aku menatapnya nggak percaya. “So.” Katanya enteng. “Would you be my ‘Ndut’?”
“Jangan bercanda!” aku memukul dadanya sebal. Bercanda lagi. Aku hampir berjalan menjauhinya ketika dia menggenggam kedua tanganku.
“Ndut!” Dana memandang kedua mataku. “Aku nggak bercanda! Kamu mau nggak jadi cewekku?” tanyanya lagi.
“Kamu suka Anya.” Kataku getir. “Itu menurutmu, kan? Hatiku bilang aku suka kamu.” Dana masih menggenggam erat tanganku.
“I’m not kidding!” katanya putus asa.
Aku tersenyum melihat kepastian di matanya yang sedikit berhias putus asa. Sepertinya, ini waktuku untuk mengatakannya. Tapi ini rahasia. Ini Cuma untuk aku dan Dana. (^ . -)
0 komentar:
Posting Komentar